Tuesday, October 18, 2016

ini sahabatku, untukmu



            INI SAHABATKU,
            Tertunduk aku menatap kaki yang melangkah, berkecimpuk dengan genangan hujan malam tadi. Menatap celana Jeansku yang terkena cipratannya. Pikiranku kosong menatap tujuanku. Menatap mahasiswa yang tengah terburu-buru memasuki kampus dengan pakaian dan jilbab besar mereka yang berbeda 180’ dengan pakaianku. Memang, meskipun kuliah di perguruan tinggi agama ku bukan wanita yang mengerti tentang ajaran agama dengan baik, bahkan bisa dibilang buruk.
“Ta, ayook”, sapanya. Pria yang terbilang sholeh dan menerima untuk berteman denganku apa adanya. Dia, yang selalu hadir dalam setiap detik jantungku. Dia, yang selalu mengertiku dengan diamnya. Akupun naik dibelakang boncengannya.
“Udah telat ya bab?”, tanyaku padanya.
“Gak tau.”, jawabnya singkat. Dan itu kata yang terakhir aku dengar dari bibirnya. Karena tak lama kemudian kami sampai didepan Fakultas Ekonomi tempat kami menimba ilmu. Didepannya sudah menunggu kami, Setia, Tama, dan Dewa. Kami masuk kelas dengan tertawa bersama-
            Inila yang selalu kami lakukan, berbincang dengan santai, tak pernah memaksa untuk saling member perhatian namun saling mengerti. Kami duduk di bangku kuliah semester 3 di perguruan tinggi Agama Islam Negri di Semarang. Kami selalu dekat, dan bersama sepanjang waktu dapat kami lalui bersama.
            Namun, tak ku sadari ada tumbuh perasaan ingin memiliki yang tak dapat ku sembunyikan hadir dalam diriku. Ahmad, penuh dengan misteri, tentang lukanya dan hatinya, aku tak tau. Meski seluruh tawa kami bahagia, namun ada yang membuatku tertarik padanya setelah 3 tahun kami habiskan bersama. Iya, hanya dia. Dan entahlah aku tak mengerti.
            Saat dia tahu apa yang kurasakan, dia pergi menjauh. Bahkan menatapkupun dia yang ingin. Belakangan ku ketahui ada gadis sholihah yang dia inginkan menjadi pemilik hatinya. Saat itu kusadar ku bukan siapa-siapa. Dan ku akui aku tak sanggup menerima kenyataan ini. Aku berjanji pada diriku untuk mengunci diriku dari semua yang berhubungan dengannya, namun ku tak pernah sanggup menahan untuk tak bertemu dengnnya. Aku ingin berhenti kuliah.
            Seminggu telah ku lalui dengan berdiam diri di kamar kosan ku. Manangis menghujat Allah karena membuat dia tak melihatku. Aku benci diriku yang tak bisa menjadi apa ynag dia inginkan. Aku ingin menangis lebih kencang dan lebih kencang. Seluruh barang-barang di kamar ku lempar entah kemana. Ku ingin marah, tapi ku tau cintanya tak pernah dapat ku raih. Dan itu bukan kesalahan yang dia buat. Aku marah pada diriku sendiri.
Tok tok tok. “Ta,”. Suara setia membuatku tergagap dari gundahku. Kubuka pintu dan dia terlihat bingung dnegan keadaan ku. Rambut ku potong pendek, mata ku bengkak, kamarku berantakan. Dia masuk ke kamar kosku. Melihatku menangis dia terlihat tidak suka dan menyuruhku untuk masuk kuliah keesokan harinya karena pembekalan kegiatan magang.
            Keesokan harinya ku paksakan untuk mengikuti kegiatan pembekalan magang di Fakultas. Bertemu dengan mereka membuatku senang namun juga merasa sakit. Menatap matanya yang merasa bersalah, membuatku inginmenangis didepannya.
            Aku tak pernah ingin membuat suasana ini menjadi canggung, aku tak pernah ingin membuatnya merasakan akit, aku tak pernah ingin dia pergi karena perasaan ini. Aku hanya ingin kembali seperti semula. Dan mulai hari ini akan ku coba. Menganggap semua baik-baik saja. Ku biasakan lagi berbincang dengannya, bersenda gurau dan menghubunginya dikala waktu luangku. Meski tak bisa seperti dulu kini ada jarak yang semakin dekat.
            Saat kegiatan magang, ku gunakan waktu ini untuk melupakannya dengan tempat magang yang jauh dari tempat magang dan kampus. Magang di Jogja sendiri tanpa ada mereka disampingku, rasanya setiap hari aku merindukan mereka. Seminggu sekali aku pulang ke kos di Semarang. Minggu pertama Ahmad menjemputku di penghentian bus didepan kampus. Kami berdua menghampiri Setia, Tama dan Dewa yang sudah ada di tempat kami biasa nongkrong dekat kos ku. Kami tertawa bersama tanpa menutup hati dan ku sadar semua kembali seperti sedia kala. MInggu kedua kepulanganku, Ahmad tak ada kabar untuk menjemputku, dan Dewa yang menjemputku dan kembali ke tempat kami biasa berbincang, namun Ahmad juga tak terlihat. Ku pikir karena Ia tak ingin melihatku, dan aku hanya bisa diam tanpa bisa menanyakan. Minggu ketiga aku tak menemukannya lagi. Setia, Dewa dan Tama hanya diam saat ku tanya. Malam harinya ku membuka facebook ku lihat teman-teman ku mengucapkan semoga cepat sembuh untuh Ahmad, setelah aku penasaran ternyata Ia di rawat di rumah sakit. aku terlambat mengetahuinya karena sudah tidak jamannya lagi dengan facebook.
            Aku ingin melihatnya bersama teman-teman yang lain, namun ku benar-benar tak sanggup. Melihatnya bersedih melihatnya lemah aku tak mampu. Ku fikir, pada siapa ku bisa mengatakan semua hal ini?. Pada siapa ku bertanya dan mencari jawaban?. Pada siapa ku bisa menangis sekencang yang aku mau? Apa yang harus ku lakukan? Mengapa harus dia?. Saat itulah kutertegun, ku bimbang dan ku merasa seperti mati di dunia ini. Ku tak tau apa yang harus ku lakukan, ku tak tau apa yang membuatku berani berharap padanya, saat itulah ku berada di ambang keputus asaan.
            Malam hari ku terbangun untuk kesekian kalinya. Ku benar-benar ingin melihatnya, melihat bagaimana keadaannya, melihat apa yang dia rasakan. Tapi, apa yang akan ku lakukan setelah melihatnya. Aku benar-benar tak tau dan terlau takut untuk bertanya. Hanya mendengar cerita teman-teman yang lain tentang keadaannya, aku merasa sangat puas. Namun ku merasa sangat rendah, melihatnya pun aku tak sanggup. Aku terlau berharap lebih untuk memilikinya.
            Terlintas dalam benakku untuk mencoba sholat tahajud. Bacaan sholat pun ak masih belajar. Ku tak perduli. Dalam sujud ku yang entah pada rekaat berapa, ku menangis tersedu. Entah apa yang ku tangisi, rasa sedih, rasa menyesal, rasa rendah diri, semua menjadi satu dalam tangisku. Ku bertanya pada Allah, apakah aku bisa menangis lagi padanya? Apakah aku pantas menangis padanya?, apakah aku boleh bercerita tentang perasaanku padanya?, apa yang harus ku lakukan? Apa mungkin untukku menyebut namaNya? Setelah sekian lama ku melupakanNya. Sesakit inikah rasanya menjaga orang yang tak pernah melihatku?.
            Kulantunkan setiap tangisku malam ini. Ku berharap Allah mendengar tangisku, mendengar semua keluh kesahku. Meski ku merasa malu mengingat ku tak pernah mendengar seruanNya, ku hanya bisa berharap. Ku berharap ada tuhan yang selalu menjawab tanya yang ku ajukan, aku ingin itu. Andai ku bisa ingin ku tumpahkan seluruh tangis ini didepannya, agar dia tau rasa sakit yang aku rasakan, betapa hancurnya ku lihat dia mengelana dengan rasa yang sia-sia ku acukan. Aku ingin menangis sekencang kau mengharapkannya. Ku benar-benar tak sanggup untuk melakukan itu semua.
            Ya Allah, masihkah engkau mendengar doaku?, meski ku selalu mengacuhkanMu?.
            Lega rasanya bisa sedikit bercengkerama denganNya. Hal yang baru sekai ini ku lakukan. Ku rasakan kedamaian dalam hatiku. Entahlah, mungkin karena tiada satupun yang bisa ku ajak bercengkerama. Ku yakinkan hatiku untuk tetap bertahan selau bercerita apapun yang ku lalui padaNya. Ku berharap Allah tau, luka dihati ini terlalu berat untukku lalui. Semua yang ku lakukan seakan sia-sia, berharap Ahmad melihatku. Perlahan tetesan air mata membasahi pipiku hingga bibirku tak sanggup lagi meneriakkan tangisku. Namun ku hanya bisa berkata, “ya, inilah jalanku”. Ku hanya berharap saat dia kembali, seluruh sikapnya akan kembali seperti dahulu padaku.
***
            Enam bulan setelah kembalinya, sikapnya tidak sepenuhnya kembali. Dan akupun memahami. Hanya Allah yang tau apa yang setiap malam ku tangisi, apa yang setiap malam ku sebut dalam doaku. Berharap dia mengerti dan benar dia mengerti. Tapi bagai berbakar bara namun tak merasakan panasnya, menegertinya dia tidak merubah apapun tentang sikapnya padaku. Setiap malam aku ingin manangis, namun aku lelah mengeluh. Ku yakin Allah puntak suka hambanya yang mengeluh. Satu-satunya yang terlintas dalam benakku, AKU HARUS BERUBAH. Ya, harus!.
            Perubahanku bukan karena Ahmad, bukan karena aku mengharapkannya untuk melihatku. Aku hanya ingin bila suatu saat nanti bila aku bertemu dengan seseorang yang sama seperti Ahmad, dia tak akan membuatku merasakan hal yag sama layaknya Ahmad. Perubahanku pun tak semudah yang terlihat. Seluruh temanku sekelas, organisasi, Setia, Dewa, Tama bahkan keluargaku menertawakanku. Termasuk Ahmad. Aku tak mengerti apa yang salah. Hanya ku mencoba melihat diriku dari sudut pandang orang lain. Semakin sulit untukku berubah.
            Ku tetap mencoba bertahan. Ku tak ingin berubah karena mengharapkan Ahmad melihat perubahanku. Ku hanya ingin Allah yang tau. Ku berusaha bersikap seperti sediakala, setiap malam ku hanya berdoa untuk membuatnya kembali seperti dulu lagi. Saat Ahmad dan teman-teman tak tahu apa yang ku rasakan sendiri. Ku berdoa dan selalu berdoa agar Ia tak pernah mengingat apa yang pernah ia tahu tentangku. Aku ingin semua kembali tanpa ada kecanggungan lagi diantara kita.
            Akhirnya Allah menjawab doaku, perlahan Ahmad kembali dengan sedikit perubahan pada sifat dasarnya. Dia yang pemalu kini memiliki rasa peraya diri yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Bersikap sebagai pria sejati didepan seluruh wanita. Kadang aku tak mengenalinya. Dia seperti orang yang berbeda, entah apa yang terjadi aku tak tahu. Ku hanya berharap bila itu membuatnya bahagia, ku hanya akan ikut tersenyum. Meski dalam senyumku ada kegundahan yang tak seharusnya ku miliki, kegundahan karena bukan aku yang mengukir senyum di bibir indahmu.
            Hingga semua kembali disampingku, kami, dan semua cerita indah kami terulang kembali. Hanya satu doa yang selalu ku panjatkan pada Allah tentangnya. Ku harap kau selalu bahagia, sehat dan tak menganggapku sebagai beban yang harus kau jaga hatinya. Bila menyakitiku membuatmu merasa tinggi maka lakukanlah. Bila mengalirkan air mataku membuatmu merasa tersanjung, maka lakukanlah. Entahlah betapa aku menintaimu atau karena begitu bodohnya aku memandang apa yang seharusnya tak ku inginkan. Ku akan tetap menunggu. Namun akupun tak tau apa yang ku tunggu. Entah menunggu orang lain membuka hatiku atau menunggumu membuka hatimu untukku.
            Satu pintaku. Bila suatu saat Allah membuka hatiku untuk yang lain dan engkau menunggu waktumu yang tepat untuk datang padaku, biarlah aku berfikir bahwa kita tidak sejodoh. Namun, bila hingga saat terakhir ku, Allah tetap menempatkamu dihatiku meski kau tak mengharapkanku, biarlah itu menjadi jalan yang ku ambil dan ku nikmati sendiri.
Untukmu sahabatku,
Untukmu yang ku inginkan memilikiku di suatu masa penantianku,
Untukmu yang ku inginkan menjadi Imamku di jalan Allah,
Jangan pernah kau pergi dari pandanganku dengan luka,
Luka yang karenaku, karena cintaku.
Allah tau jalan terbaik yang kan menyejukkan hatimu hatiku dan hati kita,
Hadirmu yang selalu ku tunggu namun juga ku ingkari,
Aku, aku terlalu takut menatapmu,
Ku takut tak lagi dapat bertahan bila tanpamu disisiku,
Allah buatku ikhlash namun apa yang harus ku lakukan,
Berdoa agar kau tak hadir dalam mimpiku saja ku tak mampu,
Katakana apa yang kau inginkan,
Bila impianmu, aku akan jadikan impianku adalah mewujudkan impianmu,
Karena aku, bukan sahabat yang baik untukmu,
Aku tak bisa menjanjikan akan tersenyum dengan tulus bila kau dengan pilihanmu,
Aku tak bisa menjamin akan bertahan Manahan rasa ini selamanya,
Aku takut rasa ini akan tumpah suatu saat nanti,
Dan yang paling ku takutkan,
Melawan egoku untuk memilikimu.
Karena aku, bukan sahabat yang baik untukmu,
Allah pasti tahu perubahanku,
Namun aku takut bila semua perubahanku tidak karena Allah,
Namun karenamu,
Katakan padaku semua akan baik-baik saja bila ku berubah karenamu,
Katakan semua bisa kembali seperti semula,
Katakan padaku, katakan apa yang sesungguhnya ada dalam hatimu,
Jangan biarkan aku menebak sendiri,
Ganggam tanganku bila terlalu sulit untukmu bertahan menjadi sahabatku,
Namun lepaskan aku, bila memang itu maumu,
Karena ku tau, ku bukan sahabat yang baik untukmu,
Karena kamu, adalah sahabatku.
:) :) :)

“Ya Allah, yakinkan aku semua kan baik-baik saja untuknya. Bukalah hatinya bila ku memang jodohnya. Namun kuatkanlah hatiku bila tidak ada yang harus kita jaga bersama dalam membangun kasihmu. Dan Ya Allah, bila memang ini harus jadi seperi ini, aku hanya akan meminta satu hal. Permudahkanlah segala urusannya, jagalah hati dan jiwanya agar selalu dalam jalanMu. Amin.”
            Selamat malam, sahabatku. Harapanku, kau selalu menjadi apa yang kau impikan. Dan apa yang aku impikan adalah membuatmu mewujudkan impianmu. Maaf maaf maaf dan sekali maaf telah membuatmu merasakan kebimbangan yang teramat sangat dan terimakasih sudah bersedia menjadi sahabatku yang menerimaku. Terima kasih untuk semuanya.
_My First Short Story_
Terima kasih untuk kalian semua para pejuang S.E :)

No comments:

Post a Comment