INI SAHABATKU,
Tertunduk aku menatap kaki yang
melangkah, berkecimpuk dengan genangan hujan malam tadi. Menatap celana Jeansku yang terkena cipratannya.
Pikiranku kosong menatap tujuanku. Menatap mahasiswa yang tengah terburu-buru
memasuki kampus dengan pakaian dan jilbab besar mereka yang berbeda 180’ dengan
pakaianku. Memang, meskipun kuliah di perguruan tinggi agama ku bukan wanita
yang mengerti tentang ajaran agama dengan baik, bahkan bisa dibilang buruk.
“Ta,
ayook”, sapanya. Pria yang terbilang sholeh dan menerima untuk berteman
denganku apa adanya. Dia, yang selalu hadir dalam setiap detik jantungku. Dia,
yang selalu mengertiku dengan diamnya. Akupun naik dibelakang boncengannya.
“Udah
telat ya bab?”, tanyaku padanya.
“Gak
tau.”, jawabnya singkat. Dan itu kata yang terakhir aku dengar dari bibirnya.
Karena tak lama kemudian kami sampai didepan Fakultas Ekonomi tempat kami
menimba ilmu. Didepannya sudah menunggu kami, Setia, Tama, dan Dewa. Kami masuk
kelas dengan tertawa bersama-
Inila yang selalu kami lakukan,
berbincang dengan santai, tak pernah memaksa untuk saling member perhatian
namun saling mengerti. Kami duduk di bangku kuliah semester 3 di perguruan
tinggi Agama Islam Negri di Semarang. Kami selalu dekat, dan bersama sepanjang
waktu dapat kami lalui bersama.
Namun, tak ku sadari ada tumbuh
perasaan ingin memiliki yang tak dapat ku sembunyikan hadir dalam diriku. Ahmad,
penuh dengan misteri, tentang lukanya dan hatinya, aku tak tau. Meski seluruh
tawa kami bahagia, namun ada yang membuatku tertarik padanya setelah 3 tahun
kami habiskan bersama. Iya, hanya dia. Dan entahlah aku tak mengerti.
Saat dia tahu apa yang kurasakan,
dia pergi menjauh. Bahkan menatapkupun dia yang ingin. Belakangan ku ketahui
ada gadis sholihah yang dia inginkan menjadi pemilik hatinya. Saat itu kusadar
ku bukan siapa-siapa. Dan ku akui aku tak sanggup menerima kenyataan ini. Aku
berjanji pada diriku untuk mengunci diriku dari semua yang berhubungan
dengannya, namun ku tak pernah sanggup menahan untuk tak bertemu dengnnya. Aku
ingin berhenti kuliah.
Seminggu telah ku lalui dengan
berdiam diri di kamar kosan ku. Manangis menghujat Allah karena membuat dia tak
melihatku. Aku benci diriku yang tak bisa menjadi apa ynag dia inginkan. Aku
ingin menangis lebih kencang dan lebih kencang. Seluruh barang-barang di kamar
ku lempar entah kemana. Ku ingin marah, tapi ku tau cintanya tak pernah dapat
ku raih. Dan itu bukan kesalahan yang dia buat. Aku marah pada diriku sendiri.
Tok
tok tok. “Ta,”. Suara setia membuatku tergagap dari gundahku. Kubuka pintu dan
dia terlihat bingung dnegan keadaan ku. Rambut ku potong pendek, mata ku
bengkak, kamarku berantakan. Dia masuk ke kamar kosku. Melihatku menangis dia
terlihat tidak suka dan menyuruhku untuk masuk kuliah keesokan harinya karena
pembekalan kegiatan magang.
Keesokan harinya ku paksakan untuk
mengikuti kegiatan pembekalan magang di Fakultas. Bertemu dengan mereka
membuatku senang namun juga merasa sakit. Menatap matanya yang merasa bersalah,
membuatku inginmenangis didepannya.
Aku tak pernah ingin membuat suasana
ini menjadi canggung, aku tak pernah ingin membuatnya merasakan akit, aku tak
pernah ingin dia pergi karena perasaan ini. Aku hanya ingin kembali seperti
semula. Dan mulai hari ini akan ku coba. Menganggap semua baik-baik saja. Ku
biasakan lagi berbincang dengannya, bersenda gurau dan menghubunginya dikala
waktu luangku. Meski tak bisa seperti dulu kini ada jarak yang semakin dekat.
Saat kegiatan magang, ku gunakan
waktu ini untuk melupakannya dengan tempat magang yang jauh dari tempat magang
dan kampus. Magang di Jogja sendiri tanpa ada mereka disampingku, rasanya
setiap hari aku merindukan mereka. Seminggu sekali aku pulang ke kos di Semarang.
Minggu pertama Ahmad menjemputku di penghentian bus didepan kampus. Kami berdua
menghampiri Setia, Tama dan Dewa yang sudah ada di tempat kami biasa nongkrong
dekat kos ku. Kami tertawa bersama tanpa menutup hati dan ku sadar semua
kembali seperti sedia kala. MInggu kedua kepulanganku, Ahmad tak ada kabar
untuk menjemputku, dan Dewa yang menjemputku dan kembali ke tempat kami biasa
berbincang, namun Ahmad juga tak terlihat. Ku pikir karena Ia tak ingin
melihatku, dan aku hanya bisa diam tanpa bisa menanyakan. Minggu ketiga aku tak
menemukannya lagi. Setia, Dewa dan Tama hanya diam saat ku tanya. Malam harinya
ku membuka facebook ku lihat teman-teman ku mengucapkan semoga cepat sembuh untuh Ahmad, setelah aku penasaran ternyata Ia di rawat di rumah sakit. aku terlambat mengetahuinya karena sudah tidak jamannya lagi dengan facebook.
Aku ingin melihatnya bersama
teman-teman yang lain, namun ku benar-benar tak sanggup. Melihatnya bersedih
melihatnya lemah aku tak mampu. Ku fikir, pada siapa ku bisa mengatakan semua
hal ini?. Pada siapa ku bertanya dan mencari jawaban?. Pada siapa ku bisa
menangis sekencang yang aku mau? Apa yang harus ku lakukan? Mengapa harus dia?.
Saat itulah kutertegun, ku bimbang dan ku merasa seperti mati di dunia ini. Ku
tak tau apa yang harus ku lakukan, ku tak tau apa yang membuatku berani
berharap padanya, saat itulah ku berada di ambang keputus asaan.
Malam hari ku terbangun untuk
kesekian kalinya. Ku benar-benar ingin melihatnya, melihat bagaimana
keadaannya, melihat apa yang dia rasakan. Tapi, apa yang akan ku lakukan
setelah melihatnya. Aku benar-benar tak tau dan terlau takut untuk bertanya.
Hanya mendengar cerita teman-teman yang lain tentang keadaannya, aku merasa
sangat puas. Namun ku merasa sangat rendah, melihatnya pun aku tak sanggup. Aku
terlau berharap lebih untuk memilikinya.
Terlintas dalam benakku untuk
mencoba sholat tahajud. Bacaan sholat pun ak masih belajar. Ku tak perduli.
Dalam sujud ku yang entah pada rekaat berapa, ku menangis tersedu. Entah apa
yang ku tangisi, rasa sedih, rasa menyesal, rasa rendah diri, semua menjadi
satu dalam tangisku. Ku bertanya pada Allah, apakah aku bisa menangis lagi
padanya? Apakah aku pantas menangis padanya?, apakah aku boleh bercerita
tentang perasaanku padanya?, apa yang harus ku lakukan? Apa mungkin untukku
menyebut namaNya? Setelah sekian lama ku melupakanNya. Sesakit inikah rasanya
menjaga orang yang tak pernah melihatku?.
Kulantunkan setiap tangisku malam
ini. Ku berharap Allah mendengar tangisku, mendengar semua keluh kesahku. Meski
ku merasa malu mengingat ku tak pernah mendengar seruanNya, ku hanya bisa
berharap. Ku berharap ada tuhan yang selalu menjawab tanya yang ku ajukan, aku
ingin itu. Andai ku bisa ingin ku tumpahkan seluruh tangis ini didepannya, agar
dia tau rasa sakit yang aku rasakan, betapa hancurnya ku lihat dia mengelana
dengan rasa yang sia-sia ku acukan. Aku ingin menangis sekencang kau
mengharapkannya. Ku benar-benar tak sanggup untuk melakukan itu semua.
Ya Allah, masihkah engkau mendengar
doaku?, meski ku selalu mengacuhkanMu?.
Lega rasanya bisa sedikit
bercengkerama denganNya. Hal yang baru sekai ini ku lakukan. Ku rasakan
kedamaian dalam hatiku. Entahlah, mungkin karena tiada satupun yang bisa ku
ajak bercengkerama. Ku yakinkan hatiku untuk tetap bertahan selau bercerita
apapun yang ku lalui padaNya. Ku berharap Allah tau, luka dihati ini terlalu
berat untukku lalui. Semua yang ku lakukan seakan sia-sia, berharap Ahmad
melihatku. Perlahan tetesan air mata membasahi pipiku hingga bibirku tak
sanggup lagi meneriakkan tangisku. Namun ku hanya bisa berkata, “ya, inilah
jalanku”. Ku hanya berharap saat dia kembali, seluruh sikapnya akan kembali
seperti dahulu padaku.
***
Enam bulan setelah kembalinya,
sikapnya tidak sepenuhnya kembali. Dan akupun memahami. Hanya Allah yang tau
apa yang setiap malam ku tangisi, apa yang setiap malam ku sebut dalam doaku.
Berharap dia mengerti dan benar dia mengerti. Tapi bagai berbakar bara namun
tak merasakan panasnya, menegertinya dia tidak merubah apapun tentang sikapnya
padaku. Setiap malam aku ingin manangis, namun aku lelah mengeluh. Ku yakin
Allah puntak suka hambanya yang mengeluh. Satu-satunya yang terlintas dalam
benakku, AKU HARUS BERUBAH. Ya, harus!.
Perubahanku bukan karena Ahmad,
bukan karena aku mengharapkannya untuk melihatku. Aku hanya ingin bila suatu
saat nanti bila aku bertemu dengan seseorang yang sama seperti Ahmad, dia tak
akan membuatku merasakan hal yag sama layaknya Ahmad. Perubahanku pun tak semudah
yang terlihat. Seluruh temanku sekelas, organisasi, Setia, Dewa, Tama bahkan
keluargaku menertawakanku. Termasuk Ahmad. Aku tak mengerti apa yang salah.
Hanya ku mencoba melihat diriku dari sudut pandang orang lain. Semakin sulit
untukku berubah.
Ku tetap mencoba bertahan. Ku tak
ingin berubah karena mengharapkan Ahmad melihat perubahanku. Ku hanya ingin
Allah yang tau. Ku berusaha bersikap seperti sediakala, setiap malam ku hanya
berdoa untuk membuatnya kembali seperti dulu lagi. Saat Ahmad dan teman-teman
tak tahu apa yang ku rasakan sendiri. Ku berdoa dan selalu berdoa agar Ia tak
pernah mengingat apa yang pernah ia tahu tentangku. Aku ingin semua kembali
tanpa ada kecanggungan lagi diantara kita.
Akhirnya Allah menjawab doaku,
perlahan Ahmad kembali dengan sedikit perubahan pada sifat dasarnya. Dia yang
pemalu kini memiliki rasa peraya diri yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.
Bersikap sebagai pria sejati didepan seluruh wanita. Kadang aku tak
mengenalinya. Dia seperti orang yang berbeda, entah apa yang terjadi aku tak
tahu. Ku hanya berharap bila itu membuatnya bahagia, ku hanya akan ikut
tersenyum. Meski dalam senyumku ada kegundahan yang tak seharusnya ku miliki,
kegundahan karena bukan aku yang mengukir senyum di bibir indahmu.
Hingga semua kembali disampingku,
kami, dan semua cerita indah kami terulang kembali. Hanya satu doa yang selalu
ku panjatkan pada Allah tentangnya. Ku harap kau selalu bahagia, sehat dan tak
menganggapku sebagai beban yang harus kau jaga hatinya. Bila menyakitiku membuatmu
merasa tinggi maka lakukanlah. Bila mengalirkan air mataku membuatmu merasa
tersanjung, maka lakukanlah. Entahlah betapa aku menintaimu atau karena begitu
bodohnya aku memandang apa yang seharusnya tak ku inginkan. Ku akan tetap
menunggu. Namun akupun tak tau apa yang ku tunggu. Entah menunggu orang lain
membuka hatiku atau menunggumu membuka hatimu untukku.
Satu pintaku. Bila suatu saat Allah
membuka hatiku untuk yang lain dan engkau menunggu waktumu yang tepat untuk
datang padaku, biarlah aku berfikir bahwa kita tidak sejodoh. Namun, bila
hingga saat terakhir ku, Allah tetap menempatkamu dihatiku meski kau tak
mengharapkanku, biarlah itu menjadi jalan yang ku ambil dan ku nikmati sendiri.
Untukmu
sahabatku,
Untukmu
yang ku inginkan memilikiku di suatu masa penantianku,
Untukmu
yang ku inginkan menjadi Imamku di jalan Allah,
Jangan
pernah kau pergi dari pandanganku dengan luka,
Luka
yang karenaku, karena cintaku.
Allah
tau jalan terbaik yang kan menyejukkan hatimu hatiku dan hati kita,
Hadirmu
yang selalu ku tunggu namun juga ku ingkari,
Aku,
aku terlalu takut menatapmu,
Ku
takut tak lagi dapat bertahan bila tanpamu disisiku,
Allah
buatku ikhlash namun apa yang harus ku lakukan,
Berdoa
agar kau tak hadir dalam mimpiku saja ku tak mampu,
Katakana
apa yang kau inginkan,
Bila
impianmu, aku akan jadikan impianku adalah mewujudkan impianmu,
Karena
aku, bukan sahabat yang baik untukmu,
Aku
tak bisa menjanjikan akan tersenyum dengan tulus bila kau dengan pilihanmu,
Aku
tak bisa menjamin akan bertahan Manahan rasa ini selamanya,
Aku
takut rasa ini akan tumpah suatu saat nanti,
Dan
yang paling ku takutkan,
Melawan
egoku untuk memilikimu.
Karena
aku, bukan sahabat yang baik untukmu,
Allah
pasti tahu perubahanku,
Namun
aku takut bila semua perubahanku tidak karena Allah,
Namun
karenamu,
Katakan
padaku semua akan baik-baik saja bila ku berubah karenamu,
Katakan
semua bisa kembali seperti semula,
Katakan
padaku, katakan apa yang sesungguhnya ada dalam hatimu,
Jangan
biarkan aku menebak sendiri,
Ganggam
tanganku bila terlalu sulit untukmu bertahan menjadi sahabatku,
Namun
lepaskan aku, bila memang itu maumu,
Karena
ku tau, ku bukan sahabat yang baik untukmu,
Karena
kamu, adalah sahabatku.
:) :) :)
“Ya
Allah, yakinkan aku semua kan baik-baik saja untuknya. Bukalah hatinya bila ku
memang jodohnya. Namun kuatkanlah hatiku bila tidak ada yang harus kita jaga
bersama dalam membangun kasihmu. Dan Ya Allah, bila memang ini harus jadi
seperi ini, aku hanya akan meminta satu hal. Permudahkanlah segala urusannya,
jagalah hati dan jiwanya agar selalu dalam jalanMu. Amin.”
Selamat malam, sahabatku. Harapanku,
kau selalu menjadi apa yang kau impikan. Dan apa yang aku impikan adalah
membuatmu mewujudkan impianmu. Maaf maaf maaf dan sekali maaf telah membuatmu
merasakan kebimbangan yang teramat sangat dan terimakasih sudah bersedia
menjadi sahabatku yang menerimaku. Terima kasih untuk semuanya.
_My
First Short Story_
Terima
kasih untuk kalian semua para pejuang S.E :)
No comments:
Post a Comment