Tuesday, July 26, 2016

Etika Profesi dalam akuntan publik

Nice day to my lofe and love it make it happen. :)

     Kali ini saya akan membahas tentang pentingnya kode etik akuntan publik bagi profesi akuntan publik. Well, karena ini tugas kampus, ya maaf saja saya tidak menjamin anda mendapat nilai bagus bila memilih refrensi dari blog saya. it just for having fun.

     Pentingnya kode etik akuntan publik bagi profesi akuntan publik, wow, nice word, menurut saya, setelah membaca beberapa referensi tentunya, merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji dan dilaksanakan. Baiklah, pertama kita harus mengerti dahulu apa itu etika profesi. Hal ini diperlukan karena bagi seorang akuntan publik sangat fatal apabila tidak mengerti etika profesi dan juga hal hal yang perlu diperhitungkan sebelum menerima pekerjaan sebagai akuntan publik. Kode etik merupakan landasan tingkah laku yang menunjukkan moral dan mutu profesi dalam melakukan suatu pekerjaan yang telah disepakati dan disahkan oleh sekumpulan masyarakat tertentu. Menurut saya, etika dan kode etik serupa namun tak sama, etika merupakan asas dan nilai dalam melakukan kode etik, sedangkan kode etik adalah suatu hal yang mengatur seorang akuntan melakukan pekerjaannya secara professional.

     Seorang akuntan publik rawan terhadap penyelewengan penyelewengan material yang bisa merusak citra akuntan bila dilanggar oleh seorang akuntan publik. seorang akuntan haris memenuhi prinsip-prinsip etika seperti perinsip kerahasiaan, integritas, tanggung jawab profesi, perilaku professional standar teknis, objektivitas, kecermatan dan kehati-hatian professional supaya masyarakat dan juga lembaga-lembaga terkait memiliki kepercayaan yang tinggi.

     Akuntan sebagai seorang profesional yang telah menempuh pendidikan di fakultas ekonomi jurusan akuntansi dan telah lulus Pendidikan Profesi Akuntansi bertugas menyusun, membimbing, mengawasi, menginspeksi, dan memperbaiki tata buku perusahaan, sudah seharusnya memiliki kesadaran untuk bekerja secara profesional sesuai dengan kode etik yang mengatur.

    Agar profesi akuntan dihargai dan dapat menjaga kepercayaan publik, akuntan perlu mempertahankan dan meningkatkan kompetensinya sebagai seorang profesional. Setiap akuntan harus mampu menjaga etika dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, menerapkan kode etik akuntan dalam menjalankan profesionalitasnya dan mengikuti pendidikan profesi berkelanjutan yang berhubungan dengan kegiatan akuntansi publik. 

Refrensi:
Ikatan Akuntan Indonesia. 2001. Standard Profesional Akuntan Publik. Jakarta: PT Salemba Empat Patria 

 
Abdullah, Syukry dan Abdul Halim. 2002. Pengintegrasian Etika dalam Pendidikan dan Riset Akuntansi . Kompak, STIE YO.

  Nice to see you again
_tak ada yang akan memulai bila kita tak memulai, kecuali memang tidak ada yang harus dimulai_
_berharap hari ini indah, see you guys_
_thanks buat dosen cantik indriana puspitasari dosen fak ekonomi dan bisnis IAIN Surakarta, love you_
I
 

Monday, July 25, 2016

Pengukuran Kinerja menggunakan Balanced Scorecard dengan pandangan Islam


ANALISIS BALANCE SCORECARD SEBAGAI ALAT PENGUKUR KINERJA PERUSAHAAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
 ABSTRACT
The advent of the era of free-market impacts business competition is increasingly fierce. This condition spur businesses to be concerned about the strategy pursued. Even companies continue to attempt to formulate and enhance their business strategies in order to win the competition. Domestic and global competition requires companies to pay attention to creation and maintenance of competitive advantage through the delivery of products and services better to consumers. In order to ensure an ongoing organization with well, then the organization needs to conduct an evaluation of its performance. In the evaluation of the required an appropriate performance measurement standards, in the sense of not only oriented on the financial sector, because it is so lacking right in the face business competition is increasingly fierce.
Therefore, it needs to be complemented with information from non-financial sectors, such as consumer satisfaction, product or service quality, employee loyalty and so on, so that the management company can take the right decision for the benefit of living in the long term. Today, it is realized that the measurement of financial performance used by many Companies to measure executive performance is no longer adequate, so developed a concept of a "Balanced Scorecard," Balanced scorecard is a measurement concept business performance.

Keywords: Balanced Scorecard, performance measurement 2





BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan dunia bisnis yang semakin kompetitif menyebabkan perubahan besar dalam hal persaingan, produksi, pemasaran, pengelolaan sumber daya manusia, dan penanganan transaksi antara perusahaan dengan konsumen dan perusahaan dengan perusahaan lain. Persaingan yang bersifat global dan tajam menyebabkan terjadinya penciutan laba yang diperoleh perusahaan-perusahaan yang memasuki persaingan tingkat dunia. Hanya perusahaan yang mempunyai keunggulan yang mampu memuaskan atau memenuhi kebutuhan konsumen, mampu menghasilkan produk yang bermutu, dan cost effective
Perubahan-perubahan tersebut mendorong perusahaan untuk mempersiapkan diri agar bisa diterima di lingkungan global. Kunci persaingan dalam pasar global adalah kualitas total yang mencakup penekanan-penekanan pada kualitas produk, kualitas biaya atau harga, kualitas pelayanan, kualitas penyerahan tepat waktu, dan kepuasan-kepuasan lain yang terus berkembang guna memberikan kepuasan terus menerus kepada pelanggan.
Dengan adanya persaingan global, perusahaan dihadapkan pada penentuan strategi dalam pengelolaan usahanya. Penentuan strategi akan dijadikan sebagai landasan dan kerangka kerja untuk mewujudkan sasaran – sasaran kerja yang telah ditentukan oleh manajemen. Oleh karena itu dibutuhkan suatu alat untuk mengukur kinerja sehingga dapat diketahui sejauh mana strategi dan sasaran yang telah ditentukan dapat tercapai. Penilaian kinerja memegang peranan penting dalam dunia usaha, dikarenakan dengan dilakukanya penilaian kinerja dapat diketahui efektivitas dari penetapan suatu strategi dan penerapannya dalam kurun waktu tertentu. Penilaian kinerja dapat mendeteksi kelemahan atau kekurangan yang masih terdapat dalam perusahaan, untuk selanjutnya dilakukan perbaikan dimasa mendatang.
Penilaian atau pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor penting dalam perusahaan. Selain digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan, pengukuran kinerja juga dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan sistem imbalan dalam perusahaan, misalnya untuk menentukan tingkat gaji karyawan maupun reward yang layak. Pihak manajemen juga dapat menggunakan pengukuran kinerja perusahaan sebagai alat untuk mengevaluasi periode yang lalu.
Selama ini yang umum digunakan dalam perusahaan adalah pengukuran kinerja tradisional yang hanya menitikberatkan pada sektor keuangan saja. Pengukuran kinerja dengan sistem ini menyebabkan orientasi perusahaan hanya pada keuntungan jangka pendek dan cenderung mengabaikan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Pengukuran kinerja yang menitikberatkan pada sektor keuangan saja kurang mampu mengukur kinerja harta-harta tak tampak (intangible assets) dan harta-harta intelektual (sumber daya manusia) perusahaan. Selain itu pengukuran kinerja dengan cara ini juga kurang mampu bercerita banyak mengenai masa lalu perusahaan, kurang memperhatikan sektor eksternal, serta tidak mampu sepenuhnya menuntun perusahaan ke arah yang lebih baik  .
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kaplan dan Norton pada tahun 1990 yaitu tentang ”Pengukuran Kinerja Organisasi Masa Depan”. Penelitian tersebut berkaitan dengan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Penelitian ini didorong oleh kesadaran pada saat itu dimana ukuran kinerja keuangan yang digunakan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai. Hasil penelitian menyebutkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif di masa depan diperlukan ukuran komprehensif yang meliputi empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, serta perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, yang disebut dengan Balance Scorecard. Balance Scorecard digunakan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang.
Dari percobaan penggunaan Balance Scorecard pada tahun 1990-1992, perusahaan-perusahaan yang ikut serta dalam penelitian tersebut menunjukkan perlipatgandaan kinerja keuangan perusahaan. Keberhasilan ini disadari sebagai akibat dari penggunaan ukuran kinerja Balance Scorecard yang komprehensif. Dengan menambahkan ukuran kinerja nonkeuangan, seperti kepuasan pelanggan, produktivitas dan cost effectiveness proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan, eksekutif dipacu untuk memperhatikan dan melaksanakan usaha-usaha yang merupakan pemacu sesungguhnya untuk mewujudkan kinerja keuangan. (Mulyadi, 2001)
Balance Scorecard menggambarkan adanya keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang, antara ukuran keuangan dan nonkeuangan, antara indicator lagging dan indicator leading. Balance Scorecard cukup komprehensif untuk memotivasi eksekutif dalam mewujudkan kinerja dalam keempat perspektif tersebut, agar keberhasilan keuangan yang dihasilkan bersifat berkesinambungan.
Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari Kinerja?
2.      Apa pengertian kinerja menurut pandangan islam?
3.      Apa tujuan dan manfaat Penilaian Kinerja?
4.      Apa saja karakteristik Sistem Penilaian Kinerja?
5.      Apa definisi dari Balance Scorecard?
6.      Apa kelebihan dan kekurangan  Balance Scorecard?
7.      Perspektif apa saja yang mengindikasi Penilaian kerja dengan Balance Scorecard?
8.      Bagaimana indicator Penilaian kerja dengan Balance scorecard dalam quran dan hadis?











BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Kinerja
Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki
Menurut Mulyadi (2001), kinerja adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode.
Pemahaman tentang kinerja (performance) memperlihatkan sampai sejauh mana sebuah organisasi, baik pemerintah, swasta, organisasi laba ataupun nirlaba, menafsirkan tentang kinerja sebagai suatu pencapaian yang relevan dengan tujuan organisasi. Sehingga, terdapat dua asumsi umum tentang titik berangkat pemahaman pengertian kinerja.
Asumsi pertama, yaitu pengertian kinerja yang dititikberatkan pada kinerja individu, dalam pengertian sebagai bentuk prestasi yang dicapai individu berdasarkan target kerja yang diembangnya atau tingkat pencapaian dari beban kerja yang telah ditargetkan oleh organisasi kepadanya.
Asumsi kedua, yaitu pengertian kinerja yang dinilai dari pencapaian secara totalitas tujuan sebuah organisasi dari penetapan tujuan secara umum dan terperinci organisasi tersebut. Misalnya; pencapaian visi dan misi serta tujuan organisasi dari penjabaran visi dan misi organisasi tersebut.
Asumsi ketiga, yaitu penilaian kinerja proses. asumsi ini tidak terlalu umum digunakan sebagai titik berangkat dalam pemahaman kinerja,
Terkait dengan ketiga asumsi tersebut di atas, Rummler dan Brache (1995) dalam Sudarmanto (2009) mengemukakan ada 3 (tiga) level kinerja, yaitu :
  1. Kinerja organisasi; merupakan pencapaian hasil (outcome) pada level atau unit analisis organisasi. Kinerja pada level organisasi ini terkait dengan tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan manajemen organisasi.
  2. Kinerja proses; merupakan kinerja pada proses tahapan dalam menghasilkan produk atau pelayanan. Kinerja pada level proses ini dipengaruhi oleh tujuan proses, rancangan proses, dan manajemen proses.
  3. Kinerja individu; merupakan pencapaian atau efektivitas pada tingkat pegawai atau pekerjaan. Kinerja pada level ini dipengaruhi oleh tujuan pekerjaan, rancangan pekerjaan, dan manajemen pekerjaan serta karakteristik individu.
Sedangkan Lusthaus et. al., (2002) menyatakan bahwa secara umum, literature pengembangan organisasi membahas kinerja pada empat tingkatan:
  1. Individu karyawan (performance appraisal).
  2. Tim atau kelompok kecil (team performance).
  3. Program (program performance), dan
  4. Organisasi (organizational performance).
Pandangan tentang kinerja yang didasarkan pada asumsi-asumsi tersebut oleh para ahli masing-masing memberi pengertian yang berbeda baik kinerja secara individu maupun organisasi. Seperti pandangan kinerja individu yang dikemukakan oleh Cardy et al. (1995) bahwa kinerja dipandang sebagai bagian dari fungsi sistem kerja dari karakteristik seorang pekerja, karena karakteristik pekerja diasumsikan memiliki pengaruh besar terhadap kinerja. Hal ini didasari pada perbedaan-perbedaan individu dalam melaksanakan pekerjaan sehingga mempengaruhi kinerja.
Pengertian kinerja dari asumsi individu juga dikemukakan oleh Gruneberg (1979) bahwa kinerja selain merupakan respon individu pada pekerjaan, juga merupakan perilaku yang diperagakan secara aktual oleh individu sebagai respons pada pekerjaan yang diberikan kepadanya yang dilihat atas dasar hasil kerja, derajat kerja dan kualitas kerja. Sejalan dengan pengertian di atas, Yuchtman dan Seashore (1967) mengemukakan pengertian kinerja sebagai suatu kemampuan atau keberhasilan kerja individu dalam suatu organisasi sesuai dengan pekerjaan yang diberikan kepadanya untuk mencapai tujuan organisasi.
Sedangkan Bernardin dan Russel (1993) mendefinisikan kinerja sebagai catatan hasil kerja individu yang diperoleh melalui fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan individu selama periode waktu tertentu. Bahua (2010) mengemukakan pengertian kinerja (performance) sebagai aksi atau perilaku individu yang berupa bagian dari fungsi kerja aktualnya dalam suatu organisasi, yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam periode waktu tertentu untuk mencapai tujuan organisasi yang mempekerjakannya. Mungkin pengertian kinerja yang digambarkan oleh Hofer (1983) dalam Carton dan Hofer (2006) dapat mewakili pengertian kinerja dari asumsi proses. Bahwa kinerja adalah sebuah konsep kontekstual yang terkait dengan fenomena yang sedang dipelajari. Dalam konteks kinerja keuangan organisasi, kinerja adalah ukuran dari perubahan keadaan keuangan organisasi, atau hasil keuangan yang dihasilkan dari keputusan manajemen dan pelaksanaan keputusan-keputusan oleh anggota organisasi. Karena persepsi hasil ini adalah kontekstual, langkah-langkah yang digunakan untuk mewakili kinerja yang dipilih didasarkan pada kondisi organisasi yang diamati. Langkah-langkah yang dipilih merupakan hasil yang dicapai, baik atau buruk.
Pemahaman kinerja dari asumsi organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Yuchtman dan Seashore (1967) bahwa kinerja sebagai kemampuan suatu organisasi yang memanfaatkan lingkungannya untuk mengakses sumber-sumber daya yang terbatas. Selanjutnya dikemukakan bahwa kinerja adalah sebuah pengukuran yang mencakup persepsi dari berbagai stakeholder dalam organisasi. Gibson (1996) sendiri, belum begitu tegas membedakan pengertian yang dikemukakanya tentang kinerja apakah dari asumsi individu atau asumsi organisasi ataukah asumsi proses, tetapi tersirat pengertian bahwa kinerja organisasi didasari oleh kinerja individu, sebagaimana yang ditulisnya bahwa kinerja adalah hasil kerja yang diinginkan dari perilaku dan kinerja individu yang merupakan dasar dari kinerja organisasi. Secara umum, konsep kinerja organisasi didasarkan pada gagasan bahwa organisasi adalah asosiasi sukarela dari asset produktif, termasuk manusia, sumber daya fisik dan modal, untuk tujuan mencapai tujuan bersama (Alchian dan Demsetz, 1972; Jensen dan Meckling , 1976; Simon, 1976; Barney, 2002 dalam Carton dan Hofer 2006). Mereka menyediakan aset hanya untuk menjalankan organisasi mereka asalkan mereka puas dengan nilai yang mereka terima di bursa, relatif terhadap penggunaan alternatif aset. Sebagai konsekwensinya, esensi dari kinerja adalah penciptaan nilai. Selama nilai yang diciptakan dengan menggunakan asset, kontribusinya sama atau lebih besar dari nilai yang diharapkan oleh mereka, aset akan terus tersedia untuk organisasi dan organisasi akan terus eksis. Oleh karena itu, penciptaan nilai, seperti yang didefinisikan oleh penyedia sumberdaya, adalah kriteria kinerja utama secara keseluruhan untuk setiap organisasi (Carton dan Hofer, 2006).
Lusthaus et. al., (2002) mengemukakan bahwa setiap organisasi harus berusaha memenuhi tujuannya dengan pengeluaran yang diterima dari sumberdaya sambil menjamin keberlanjutan jangka panjang. Berarti tugas atau pekerjaan dilakukan secara efektif dan efisien dan tetap relevan dengan stakeholder (pemangku kepentingan). Itulah kinerja organisasi yang harus menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut :
  1. Bagaimana organisasi efektif dalam bergerak kearah pemenuhan misinya (misalnya : efektivitas program utama, efektivitas harapan klien, efektivitas tanggungjawab fungsional, dan efektivitas memberikan layanan yang bermanfaat);
  2. Bagaimana organisasi efektif dalam memenuhi misinya (misalnya : presepsi efisiensi prosedur kerja/layanan, mengacu kepada perbandingan biaya produk dan layanan, dan perenggangan alokasi keuangan);
  3. Apakah organisasi masih terus relevansinya dari waktu ke waktu (misalnya : Adaptasi visi misi, pertemuan stakeholder, kebutuhan beradaptasi dengan lingkungan, dan keberlanjutan dari waktu ke waktu);
  4. Apakah organisasi secara finansial layak (misalnya : organisasi memiliki beberapa sumber dana, sumber pendanaan yang dapat dipercaya dari waktu ke waktu, dan bantuan dana dikaitkan dengan pertumbuhan atau perubahan yang dicapai); dan
  5. Seberapa baik kinerja organisasi.
Pengertian yang dikemukakan oleh Lusthaus et.al., di atas menggambar kan pemahaman kinerja dari asumsi organisasi dan asumsi proses, karena selain menekaknkan hasil kerja yang diukur dari organisasi sebagai kinerja, juga mempertanyakan bagian-bagian dari proses yang dilaksanakan dalam sebuah organisasi dan memberi penilaian hasil terhadap bagian-bagian proses organisasi bila pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2001 : 82) faktor-faktor yang memengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu:
  1. Kemampuan mereka,
  2. Motivasi,
  3. Dukungan yang diterima,
  4. Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan, dan
  5. Hubungan mereka dengan organisasi.
Berdasarkaan pengertian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta keinginan untuk berprestasi.
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi kinerja dikemukakan oleh  Mangkunegara (2000) antara lain :
  1. Faktor kemampuan Secara psikologis.
Kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu pegawai perlu dtempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.
2.      Faktor motivasi.
Motivasi terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal.
David C. Mc Cleland (1997) seperti dikutip Mangkunegara (2001 : 68), berpendapat bahwa “Ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja”. Motif berprestasi dengan pencapaian kerja. Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan predikat terpuji. Selanjutnya Mc. Clelland, mengemukakan 6 karakteristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu :
  1. Memiliki tanggung jawab yang tinggi.
  2. Berani mengambil risiko.
  3. Memiliki tujuan yang realistis
  4. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan.
  5. Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan
  6. Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogamkan.
Pendapat yang lain dikemukakan oleh Gibson (1987) bahwa ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja :
  1. Faktor individu : kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang.
  2. Faktor psikologis : persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja.
  3. Faktor organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system)
Dari berbagai pandangan para ahli diatas dapat dikemukakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari faktor individu seperti kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang, maupun dari faktor psikologis seperti persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja. Selain itu Faktor organisasi seperti struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system) turut berpengaruh terhadap kinerja seseorang.
Pengertian Kinerja menurut perspektif Islam
Menurut Mahsun (2006: 25), kinerja (performance) adalah gambaran tentang tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/ program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam rencana strategis (strategic planning) suatu organisasi. Pengukuran kinerja (performance measurement) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi pengelolaan sumberdaya (input) dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa, hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan, dan efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan. Sementara itu, menurut Robbins (1996) dalam Siagian (2002), kinerja adalah tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 
Menurut Mursi (1997) dalam Wibisono (2002), kinerja religius Islami adalah suatu pencapaian yang diperoleh seseorang atau organisasi dalam bekerja/berusaha yang mengikuti kaidah-kaidah agama atau prinsip-prinsip ekonomi Islam. Terdapat beberapa dimensi kinerja Islami meliputi:
1.      Amanah dalam bekerja yang terdiri atas: profesional, jujur, ibadah dan amal perbuatan; dan
2.      Mendalami agama dan profesi terdiri atas: memahami tata nilai agama, dan tekun bekerja. 
Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan kegiatan/ usaha yang telah ditetapkan. Menurut Zadjuli (2006b), Islam mempunyai beberapa unsur dalam melakukan penilaian kinerja suatu kegiatan/usaha yang meliputi:
  1. Niat bekerja karena Allah,
  2. Dalam bekerja harus memberikan kaidah/norma/syariah secara totalitas,
  3. Motivasi bekerja adalah mencari keberuntungan di dunia dan akherat,
  4. Dalam bekerja dituntut penerapan azas efisiensi dan manfaat dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan,
  5. Mencari keseimbangan antara harta dengan ibadah, dan setelah berhasil dalam bekerja hendaklah bersyukur kepada Allah SWT.
Dalam unsur penilaian kinerja tersebut, orang yang berkerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu, kategori “ahli surga” seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manajer, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi sebaliknya al-Qur’an menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah) itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya.
Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sifat-sifat di ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang di dunia dan di akhirat kelak. Jika membaca hadits-hadits Rasulullah SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa di antara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan sunnah yang banyak dan seumpamanya.
Dalam Islam, kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya. Oleh karena itu suatu pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian dan reward yang setimpal. Oleh karena itu dalam hadits Rasulullah disebutkan :
Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah.” (HR. Ahmad & Ibnu Asakir)
            Menurut Asyraf A. Rahman (dalam Khayatun, 2008), istilah “kerja” dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara. Diantara hadits yang menjelaskan tentang kerja dalam Islam, sebagaimana berikut:
Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits-hadits yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa bekerja  merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Rasulullah SAW memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang teramat mulia bahkan dikategorikan jihad fi sabilillah. Dengan demikian Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka yang mau berusaha dengan sekuat tenaga dalam mencari nafkah (penghasilan). Sebagaimana riwayat :
Rasulullah saw pernah ditanya, Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau menjawab, Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjual belian yang dianggap baik.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat dan kemuliannya, karena bekerja merupakan kewajiban.
Menurut Syamsudin (dalam Heriyanto, 2008), Seorang pekerja atau pengusaha muslim dalam melakukan berbagai aktivitas usaha harus selalu bersandar dan berpegang teguh pada dasar dan prinsip berikut ini: 
  1. Seorang muslim harus bekerja dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Karena dalam kacamata syariat, bekerja hanyalah untuk menegakkan ibadah kepada Allah SWT agar terhindar dari hal-hal yang diharamkan dan dalam rangka memelihara diri dari sifat-sifat yang tidak baik, seperti meminta-minta atau menjadi beban orang lain. Rasulullah SAW bersabda:
“Binasalah orang- orang Islam kecuali mereka yang berilmu. Maka binasalah golongan berilmu, kecuali mereka yang beramal dengan ilmu mereka. Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu mereka kecuali mereka yang ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam keadaan bahaya yang amat besar …”
Bekerja juga bisa menjadi sarana untuk berbuat baik kepada orang lain dengan cara ikut andil membangun umat di masa sekarang dan masa yang akan datang, serta melepaskan umat dari belenggu ketergantungan kepada ummat lain dan jeratan transaksi haram. 
Seorang muslim dalam usaha harus berhias diri dengan akhlak mulia, seperti: sikap jujur, amanah, menepati janji, menunaikan hutang dan membayar hutang dengan baik, memberi kelonggaran orang yang sedang mengalami kesulitan membayar hutang, menghindari sikap menangguhkan pembayaran hutang, tamak, menipu, kolusi, melakukan pungli (pungutan liar), menyuap dan memanipulasi atau yang sejenisnya. Seorang muslim harus bekerja dalam hal-hal yang baik dan usaha yang halal. Sehingga dalam pandangan seorang pekerja dan pengusaha muslim, tidak akan sama antara proyek dunia dengan proyek akhirat. 
Dari Miqdan r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: Tidaklah makan seseorang lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s., makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
Baginya tidak akan sama antara yang baik dan yang buruk atau antara yang halal dan haram, meskipun hal yang buruk itu menarik hati dan menggiurkan karena besarnya keuntungan materi yang didapat. Ia akan selalu menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, bahkan hanya berusaha mencari rizki sebatas yang dibolehkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. 
  1. Seorang muslim dalam bekerja harus menunaikan hak-hak yang harus ditunaikan, baik yang terkait dengan hak-hak Allah SWT (seperti zakat) atau yang terkait dengan hak-hak manusia (seperti memenuhi pembayaran hutang atau memelihara perjanjian usaha dan sejenisnya). Karena menunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu merupakan suatu bentuk kedzaliman. Menyia-nyiakan amanah dan melanggar perjanjian bukanlah akhlak seorang muslim, hal itu merupakan kebiasaan orangorang munafik. 
  2. Seorang muslim harus menghindari transaksi riba atau berbagai bentuk usaha haram lainnya yang menggiring ke arahnya. Karena dosa riba sangat berat dan harta riba tidak berkah, bahkan hanya akan mendatangkan kutukan dari Allah SWT dan Rasul-Nya, baik di dunia maupun akherat. 
  3. Seorang pekerja muslim tidak memakan harta orang lain dengan cara haram dan bathil, karena kehormatan harta seseorang seperti kehormatan darahnya. Harta seorang muslim haram untuk diambil kecuali dengan kerelaan hatinya dan adanya sebab syar’i untuk mengambilnya, seperti upah kerja, laba usaha, jual beli, hibbah, warisan, hadiah dan yang semisalnya. 
  4. Seorang pengusaha atau pekerja muslim harus menghindari segala bentuk sikap maupun tindakan yang bisa merugikan orang lain. Ia juga harus bisa menjadi mitra yang handal sekaligus kompetitor yang bermoral, yang selalu mengedepankan kaidah “Segala bahaya dan yang membahayakan adalah haram hukumnya”. 
  5. Seorang pengusaha dan pekerja muslim harus berpegang teguh pada aturan syari’at dan bimbingan Islam agar terhindar dari pelanggaran dan penyimpangan yang mendatangkan saksi hukum dan cacat moral. Dan hal ini dapat dilihat dari niat pekerja tersebut, sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Umar r.a., berbunyi :  
“Bahwa setiap amal itu bergantung pada niat, dan setiap individu itu dihitung berdasarkan apa yang diniatkannya …” Seorang muslim dalam bekerja dan berusaha harus bersikap loyal kepada kaum mukminin dan menjadikan ukhuwah di atas kepentingan bisnis, sehingga bisnis tidak menjadi sarana untuk menciptakan ketegangan dan permusuhan sesama kaum muslimin. Dan ketika berbisnis jangan berbicara sosial, sementara ketika bersosial jangan berbicara bisnis, karena berakibat munculnya sikap tidak ikhlas dalam beramal dan berinfak.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dapat dilakukan terhadap berbagai aktifitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di mana perusahaan memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian tersebut.
Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja mempunyai tujuan pokok yaitu untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan.
Menurut Mulyadi (2001), manfaat sistem pengukuran kinerja adalah sebagai berikut:
1.      Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum.
2.      Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti promosi, pemberhentian dan mutasi.
3.      Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.
4.      Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.
5.      Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.

Karakteristik Sistem Pengukuran Kinerja
Dengan munculnya berbagai paradigma baru di mana bisnis harus digerakkan oleh konsumen-focused, suatu sistem pengukuran kinerja yang efektif paling tidak harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut (Yuwono dkk, 2002):
1.      Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan karakteristik organisasi itu sendiri sesuai perspektif pelanggan.
2.      Evaluasi atas berbagai aktivitas, mengggunakan ukuran-ukuran kinerja yang konsumen-validated.
3.      Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi pelanggan, sehingga menghasilkan penilaian yang komprehensif.
4.      Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh anggota organisasi mengenali masalah-masalah yang mempunyai kemungkinan untuk diperbaiki.

Balanced Scorecard
Menurut Kaplan dan Norton (1996), Balanced Scorecard merupakan alat pengukur kinerja eksekutif yang memerlukan ukuran komprehensif dengan empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Sementara itu Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan Balanced Scorecard sebagai: “a measurement and management system that views a business unit’s performance from four perspectives: financial, customer, internal business process, and learning and growth.”
Dengan demikian, Balanced Scorecard merupakan suatu alat pengukur kinerja perusahaan yang mengukur kinerja perusahaan secara keseluruhan, baik secara keuangan maupun nonkeuangan dengan menggunakan empat perspektif yaitu, perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Pendekatan Balance Scorecard dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan pokok, yaitu (Kaplan dan Norton, 1996):
1.      Bagaimana penampilan perusahaan dimata para pemegang saham? (perspektif keuangan)
2.      Bagaimana pandangan para pelanggan terhadap perusahaan? (perspektif pelanggan)
3.      Apa yang menjadi keunggulan perusahaan? (perspektif bisnis internal)
4.      Apa perusahaan harus terus menerus melakukan perbaikan dan menciptakan nilai secara berkesinambungan? (perspektif pertumbuhan dan pembelajaran)
Selain itu, Balanced Scorecard juga memberikan kerangka berpikir untuk menjabarkan strategi perusahaan ke dalam segi operasional. Kaplan dan Norton (1996) mengatakan bahwa perusahaan menggunakan focus pengukuran scorecard untuk menghasilkan berbagai proses manajemen, meliputi :
1.      Memperjelas dan menerjemahkan visi dan strategi
2.      Mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis
3.      Merencanakan, menetapkan sasaran, dan menyelaraskan berbagai inisiatif strategis
Meningkatkan umpan balik dan pembelajaran strategis
Dengan Balanced Scorecard, tujuan suatu perusahaan tidak hanya dinyatakan dalam ukuran keuangan saja, melainkan dinyatakan dalam ukuran dimana perusahaan tersebut menciptakan nilai terhadap pelanggan yang ada pada saat ini dan akan datang, dan bagaimana perusahaan tersebut harus meningkatkan kemampuan internalnya termasuk investasi pada manusia, sistem, dan prosedur yang dibutuhkan untuk memperoleh kinerja yang lebih baik di masa mendatang.
Melalui Balanced Scorecard diharapkan bahwa pengukuran kinerja keuangan dan nonkeuangan dapat menjadi bagian dari sistem informasi bagi seluruh pegawai dan tingkatan dalam organisasi. Saat ini Balance Scorecard tidak lagi dianggap sebagai pengukur kinerja, namun telah menjadi sebuah rerangka berpikir dalam pengembangan strategi.

Keunggulan Balanced Scorecard
Balanced Scorecard memiliki keunggulan yang menjadikan sistem manajemen strategik saat ini berbeda secara signifikan dengan sistem manajemen strategik dalam manajemen tradisional (Mulyadi,2001). Manajemen strategik tradisional hanya berfokus ke sasaran-sasaran yang bersifat keuangan, sedangkan sistem manajemen strategik kontemporer mencakup perspektif yang luas yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Selain itu berbagai sasaran strategik yang dirumuskan dalam sistem manajemen strategik tradisional tidak koheren satu dengan lainnya, sedangkan berbagai sasaran strategik dalam sistem manajemen strategic kontemporer dirumuskan secara koheren. Di samping itu, Balanced Scorecard menjadikan sistem manajemen strategik kontemporer memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh sistem manajemen strategik tradisional, yaitu dalam karakteristik keterukuran dan keseimbangan.
Menurut Mulyadi (2001), keunggulan pendekatan Balanced Scorecard dalam system perencanaan strategic adalah mampu menghasilkan rencana strategic yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.      Komprehensif.
Balanced Scorecard menambahkan perspektif yang ada dalam perencanaan strategic, dari yang sebelumnya hanya pada perspektif keuangan, meluas ke tiga perspektif yang lain, yaitu : pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan perspektif rencana strategic ke perspektif nonkeuangan tersebut menghasilkan manfaat sebagai berikut:
a.       Menjanjikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang,
b.      Memampukan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.
2.      Koheren
Balanced Scorecard mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab akibat di antara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian, kekoherenan sasaran strategik yang dihasilkan dalam sistem perencanaan strategik memotivasi personel untuk bertanggung jawab dalam mencari inisiatif strategik yang bermanfaat untuk menghasilkan kinerja keuangan. Sistem perencanaan strategic yang menghasilkan sasaran strategik yang koheren akan menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan berjangka panjang, karena personel dimotivasi untuk mencari inisiatif strategik yang mempunyai manfaat bagi perwujudan sasaran strategik di perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Kekoherenan sasaran strategic yang menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompetitif.
3.      Seimbang
Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja keuangan berjangka panjang. Jadi perlu diperlihatkan garis keseimbangan yang harus diusahakan dalam menetapkan sasaran-sasaran strategic di keempat perspektif.
4.      Terukur
Keterukuran sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan ketercapaian berbagai sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Semua sasaran strategik ditentukan oleh ukurannya, baik untuk sasaran strategik di perspektif keuangan maupun sasaran strategik di perspektif nonkeuangan.
Dengan Balanced Scorecard, sasaran-sasaran strategik yang sulit diukur, seperti sasaran-sasaran strategik di perspektif nonkeuangan, ditentukan ukurannya agar dapat dikelola, sehingga dapat diwujudkan. Dengan demikian keterukuran sasaran-sasaran strategik di perspektif nonkeuangan tersebut menjanjikan perwujudan berbagai sasaran strategik nonkeuangan, sehingga kinerja keuangan dapat berlipat ganda dan berjangka panjang.

Perspektif Balanced Scorecard
1.      Perspektif Keuangan
Perspektif keuangan tetap digunakan dalam Balance Scorecard, karena ukuran keuangan menunjukkan apakah perencanaan dan pelaksanaan strategi perusahaan memberikan perbaikan atau tidak bagi peningkatan keuntungan perusahaan. Perbaikan-perbaikan ini tercermin dalam sasaran-sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, pertumbuhan usaha, dan nilai pemegang saham.
Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dari siklus kehidupan bisnis, yaitu: growth, sustain, dan harvest (Kaplan dan Norton, 2001). Tiap tahapan memiliki sasaran yang berbeda, sehingga penekanan pengukurannya pun berbeda pula.
1.      Growth (berkembang) adalah tahapan awal siklus kehidupan perusahaan dimana perusahaan memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan yang baik. Di sini manajemen terikat dengan komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan suatu produk/jasa dan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan system, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta membina dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan.
2.      Sustain (bertahan) adalah tahapan kedua di mana perusahaan masih melakukan investasi dan reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian terbaik. Dalam tahap ini, perusahaan mencoba mempertahankan pangsa pasar yang ada, bahkan mengembangkannya, jika mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk menghilangkan bottleneck, mengembangkan kapasitas, dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Sasaran keuangan pada tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan. Tolak ukur yang kerap digunakan pada tahap ini, misalnya ROI, profit margin, dan operating ratio.
3.      Harvest (panen) adalah tahapan ketiga di mana perusahaan benar-benar memanen/menuai hasil investasi di tahap-tahap sebelumnya. Tidak ada lagi investasi besar, baik ekspansi maupun pembangunan kemampuan baru, kecuali pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Sasaran keuangan adalah hal yang utama dalam tahap ini, sehingga diambil sebagai tolak ukur, yaitu memaksimumkan arus kas masuk dan pengurangan modal kerja.
2.      Perspektif Pelanggan
Filosofi manajemen terkini telah menunjukkan peningkatan pengakuan atas pentingnya konsumen focus dan konsumen satisfaction. Perspektif ini merupakan leading indicator. Jadi, jika pelanggan tidak puas maka mereka akan mencari produsen lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kinerja yang buruk dari perspektif ini akan menurunkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun saat ini kinerja keuangan terlihat baik.
Oleh Kaplan dan Norton (2001) perspektif pelanggan dibagi menjadi dua kelompok pengukuran, yaitu: customer core measurement dan customer value prepositions. Customer Core Measurement memiliki beberapa komponen pengukuran, yaitu:
1.      Market Share (pangsa pasar); Pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, yang meliputi: jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit penjualan.
2.      Customer Retention (retensi pelanggan); Mengukur tingkat di mana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen.
3.      Customer Acquisition (akuisisi pelanggan); mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru.
4.      Customer Satisfaction (kepuasan pelanggan); Menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria kinerja spesifik dalam value proposition.
5.      Customer Profitability (profitabilitas pelanggan); mengukur keuntungan yang diperoleh perusahaan dari penjualan produk/jasa kepada konsumen.
6.      Sedangkan Customer Value Proposition merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada atribut sebagai berikut:
a.       Product/service attribute.
Meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga, dan kualitas. Pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan. Ada yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas, atau harga yang murah. Perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang diinginkan pelanggan atas produk yang ditawarkan. Selanjutnya pengukuran kinerja ditetapkan berdasarkan hal tersebut.
b.      Konsumen relationship
Menyangkut perasaan pelanggan terhadap proses pembelian produk yang ditawarkan perusahaan. Perasaan konsumen ini sangat dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan berkaitan dengan masalah waktu penyampaian. Waktu merupakan komponen yang penting dalam persaingan perusahaan. Konsumen biasanya menganggap penyelesaian order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi kepuasan mereka.
c.       Image and reputasi
Menggambarkan faktor-faktor intangible yang menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan perusahaan. Membangun image dan reputasi dapat dilakukan melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang dijanjikan.
3.      Perspektif Proses Bisnis Internal
Analisis proses bisnis internal perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisis value-chain. Disini manajemen mengidentifikasi proses internal bisnis yang kritis yang harus diunggulkan perusahaan. Scorecard dalam perspektif ini memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan dan apakah produk dan atau jasa mereka sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Perspektif ini harus didesain dengan hati-hati oleh mereka yang paling mengetahui misi perusahaan yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh konsultan luar.
Kaplan dan Norton (1996) membagi proses bisnis internal ke dalam tiga tahapan, yaitu:
1.      Proses inovasi
Dalam proses penciptaan nilai tambah bagi pelanggan, proses inovasi merupakan salah satu kritikal proses, dimana efisiensi dan efektifitas serta ketepatan waktu dari proses inovasi ini akan mendorong terjadinya efisiensi biaya pada proses penciptaan nilat tambah bagi pelanggan.
Dalam proses ini, unit bisnis menggali pemahaman tentang kebutuhan dari pelanggan dan menciptakan produk dan jasa yang mereka butuhkan. Proses inovasi dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian marketing sehingga setiap keputusan pengeluaran suatu produk ke pasar telah memenuhi syarat-syarat pemasaran dan dapat dikomersialkan (didasarkan pada kebutuhan pasar).
2.      Proses Operasi
Proses operasi adalah proses untuk membuat dan menyampaikan produk/jasa. Aktivitas di dalam proses operasi terbagi ke dalam dua bagian: 1) proses pembuatan produk, dan 2) proses penyampaian produk kepada pelanggan. Pengukuran kinerja yang terkait dalam proses operasi dikelompokkan pada waktu, kualitas, dan biaya.
3.      Proses Pelayanan Purna Jual
Proses ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk/jasa tersebut dilakukan. Aktivitas yang terjadi dalam tahapan ini, misalnya penanganan garansi dan perbaikan penanganan atas barang rusak dan yang dikembalikan serta pemrosesan pembayaran pelanggan. Perusahaan dapat mengukur apakah upayanya dalam pelayanan purna jual ini telah memenuhi harapan pelanggan, dengan menggunakan tolak ukur yang bersifat kualitas, biaya, dan waktu seperti yang dilakukan dalam proses operasi. Untuk siklus waktu, perusahaan dapat menggunakan pengukuran waktu dari saat keluhan pelanggan diterima hingga keluhan tersebut diselesaikan.
4.      Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Proses ini mengidentifikasi infrastruktur yang harus dibangun perusahaan untuk meningkatkan pertumbuhan dan kinerja jangka panjang. Proses pembelajaran dan pertumbuhan ini bersumber dari faktor sumber daya manusia, sistem, dan prosedur organisasi. Yang termasuk dalam perspektif ini adalah pelatihan pegawai dan budaya perusahaan yang berhubungan dengan perbaikan individu dan organisasi.
Hasil dari pengukuran ketiga perspektif sebelumnya biasanya akan menunjukkan kesenjangan yang besar antara kemampuan orang, system, dan prosedur yang ada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Inilah alasan mengapa perusahaan harus melakukan investasi di ketiga faktor tersebut untuk mendorong perusahaan menjadi sebuah organisasi pembelajar (learning organization). Dalam perspektif ini, ada factor-faktor penting yang harus diperhatikan, yaitu:
1.      Kapabilitas pekerja
Dalam hal ini manajemen dituntut untuk memperbaiki pemikiran pegawai terhadap organisasi, yaitu bagaimana para pegawai menyumbangkan segenap kemampuannya untuk organisasi. Untuk itu perencanaan dan upaya implementasi reskilling pegawai yang menjamin kecerdasan dan kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organisasi.

2.      Kapabilitas system informasi
Bagaimanapun juga, meski motivasi dan keahlian pegawai telah mendukung pencapaian tujuan-tujuan perusahaan, masih diperlukan informasi-informasi yang terbaik. Dengan kemampuan sistem informasi yang memadai, kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan pegawai atas informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
3.      Motivasi, kekuasaan dan keselarasan
Perspektif ini penting untuk menjamin adanya proses yang berkesinambungan terhadap upaya pemberian motivasi dan inisiatif yang sebesar-besarnya bagi pegawai. Paradigma manajemen terbaru menjelaskan bahwa proses pembelajaran sangat penting bagi pegawai untuk melakukan trial and error sehingga turbulensi lingkungan sama-sama dicoba-kenali tidak saja oleh jenjang manajemen strategis tetapi juga oleh segenap pegawai di dalam organisasi sesuai kompetensinya masing-masing. Upaya tersebut perlu didukung dengan motivasi yang besar dan pemberdayaan pegawai berupa delegasi wewenang yang memadai untuk mengambil keputusan. Selain itu, upaya tersebut juga harus dibarengi dengan upaya penyesuaian yang terus menerus yang sejalan dengan tujuan organisasi.
Dari keempat perspektif tersebut terdapat hubungan sebab akibat yang merupakan penjabaran tujuan dan pengukuran dari masing-masing perspektif. Hubungan berbagai sasaran strategic yang dihasilkan dalam perencanaan strategic dengan kerangka Balanced Scorecard menjanjikan peningkatan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kinerja keuangan. Kemampuan ini sangat diperlukan oleh perusahaan yang memasuki lingkungan bisnis yang kompetitif.
INDIKATOR KINERJA ISLAMI BERDASARKAN AL-QUR’AN DAN HADITS
Pendapatan Yang Halal.
Pendapatan dipandang sebagai indikator dalam kinerja seorang muslim karena besaran pendapatan dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai kinerja individu. Islam memberikan kepada setiap orang hak kebebasan dalam menetukan corak kehidupannya dan memilih kerja-kerja yang diminatinya asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Hak dan kebebasan dalam memilih pekerjaan dan sumber pendapatan masing-masing akan mewujudkan berbagai hasil dan pendapatan guna  pemenuhan kebutuhan. Kebebasan mencari sumber pendapatan dalam Islam adalah berdasarkan kepada firman Allah.
Di dalam kehidupan Rasulullah Saw sendiri pun tidak terlepas dari dunia bisnis yang merupakan salah satu proses kematangan beliau yang dikenal sebagai al-Amin. Sejarah telah mencatat bahwa ketika beliau berusia 12 tahun belaiu telah mengikuti ekspedisi dagang luar negeri. Begitu juga ketika berusia 20an dan 40an di padati dengan pengalaman bisnis internasional.
Bahkan Rasulullah Saw menyatakan, bahwasanya orang yang mencari nafkah hidup untuk dirinya sendiri dan untuk saudaranya yang beribadah sepanjang waktu adalah lebih baik dari saudaranya yang tidak bekerja tersebut. Demikian pentingnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan terdapat ayat al-Qur’an yang menegaskan agar umat Islam bersegera bertebaran di muka bumi guna mencari nafkah setelah memenuhi kewajiban shalat. Allah Swt berfirman dalam surat al-Jumu’ah ayat 10 :
 “Apabila telah ditunaikan shalat. Maka bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaklah supaya kamu beruntung”.
Pekerjaan manusia adalah pekerjaan rasio (akal) dan fisik. Jika manusia tidak bekerja maka ia tidak bisa memenuhi tugas hidupnya. Manusia harus menggunakan akalnya untuk berpikir dan menjadikan pemikirannya sebagai pedoman dalam kehidupan, sehingga tidak dikalahkan oleh hawa nafsu. Pemikiran yang negatif akan merugikan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pekerjaan merupakan sarana untuk memperoleh rezeki dan sumber penghidupan yang layak jika niatnya benar, dan selalu mengindahkan hukum-hukum Allah Swt, maka kerja yang dilakukannya itu di hitung sebagai ibadah. Manusia hidup mempunyai tiujuan, Islam menjadikan bekerja sebagai hak dan kewajiban individu. Rasulullah menganjurkan bekerja dan berpesan agar melakukannya sebaik mungkin Dan ia juga berpesan untuk selalu berlaku adil dalam menentukan upah kerja dan menepati pembayarannya.
Umat Islam yang diberi gelar oleh Allah sebagai Khairu Ummah (the best society) diharapkan menjadi dorongan bagi kita (umat Islam) untuk lebih semangat lagi dalam bekerja sertaberusaha untuk menanamkan suatu ideologi bahwa bekerja, berkreasi, dan berinovasi adalah suatu yang indah.
Tabungan/investasi dunia dan akhirat.
Menabung adalah tindakan yang dianjurkan oleh Islam, karena dengan menabung berarti seorang muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perencanaan masa yang akan datang sekaligus untuk menghadapi hal – hal yang tidak diinginkan. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara tidak langsung telah memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan hari esok secara lebih baik, seperti dalam Q.S. An-Nisa ayat 9:
 “dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”
Demikian pula firman Allah dalam Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 266 sebagai berikut “
 “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang Dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.”
Mempersiapkan masa depan untuk keturunan baik secara rohani/iman maupun secara ekonomi”. Menabung adalah salah satu langkah dari persiapan tersebut (Antonio, 2000; 205-206). Alokasi anggaran konsumsi seorang muslim akan mempengaruhi keputusannya dalam menabung dan investasi. Seseorang biasanya akan menabung sebagian dari pendapatnya dengan beagam motif, antara lain :
  1. untuk berjaga-jaga terhadap ketidakpastian masa depan,
  2. untuk persiapan pembelian suatu barang konsumsi dimasa depan, serta
  3. untuk mengakumulasikan kekayaannya.
Demikian pula, seseorang akan mengalokasikan sebagian dari anggarannya untuk investasi, yaitu menanamkannya pada sektor produktif. Dengan investasi maka seseorang rela mengorbankan konsumsinya sekarang dengan harapan akan mendapat hasil (return) dimasa datang. Dengan adanya return dimasa datang berarti akan terjadi akumulasi kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup.
Bukti lain bahwa Islam sangat mendorong kegiatan menabung dan investasi adalah bahwa dalam berbagai aturan Islam dalam mengelola harta membawa implikasi positif pada tabungan dan investasi ini, misalnya larangan terhadap penumpukan harta, pengenaan zakat pada harta yang menganggur melebihi batas waktu tertentu dan penghapusan bunga.
Islam yang memiliki al-Qur’an dan sunnah sebagai undang-undangnya, dengan menjadikannya sebagai way of life dan juga way of save bagi umatnya yang tidak hilang oleh zaman, karena petunjuknya yang mulia yang memang diperuntukkan bagi kita semua sampai kapan pun. Al-Qur’an juga tidak membantah akan kecintaan kepada kehidupan manusiawi, karena hal itu merupakan suatu proses yang alami. Dalam hal ini Allah Swt telah berfirman dalam surat al-Imran ayat 14 :
 “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)”.
Tetapi di balik itu al-Qur’an mengungkapkan, bahwa selain kehidupan didunia ini masih ada kelanjutan yaitu kehidupan akhirat. Pandangan hidup Islam itu tidak terbatas hanya pada kehidupan materialistis yang berakhir pada kematian seseorang didunia. Sehingga dalam bekerja para pelakunya haruslah memiliki orientasi, terlebih yang berorientasi kepada syari’ah.
Nilai asset (kekayaan) keluarga
Islam sebagai sebuah agama memiliki sistem nilai dan kepercayaan yang menempatkan urusah kehidupan menyatu dalam setiap aspek kehidupan. Bukan hanya sebagai agama personal semata, juga sebagai sebuah sistem bersama membentuk kebaikan dan kemaslaha bersama. Bagian tidak terpisahkan dalam hal muamalat. Memberikan pedoman dan rambu-rambu bagaimana memandang dan mengatur tentang persoalan finansial, aset dan kekayaan.
Perpindahan siklus finansial, asset dan kekayaan adalah sebuah sunnatullah yang berlaku bagi interaksi manusia dalam berbagai bentuk dan pola. Perpindahan ini berkembang sesuai dengan perkembangan kecerdasan manusia untuk mengolah ekonomi/muamalah untuk memenuhi kebutuhan, keinginan dan kesenangan. Menjadi landasan utama adalah bahwa kepemilikan absolut adalah Allah Swt. Semua yang ada di langit dan dibumi adalah milik Allah sebagaimana dalam  Q.S Albaqarah 284:
 “kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu:
  1. Belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
" Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya."
  1. Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang dikandungnya.
Mengeluarkan Zakat, infaq dan shadaqah
Perintah (kewajiban) membayar zakat disebutkan secara jelas di dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah. Perintah zakat dalam Alquran, yang disebutkan beriringan dengan kewajiban mendirikan shalat ditemukan sebanyak 33 kali. Sedang perintah membayar zakat yang tidak diiringkan dengan shalat, atau disampaikan dengan kata yang lain, seperti perintah untuk membayar infaq atau shadaqah, ditemukan lebih dari 40 kali.
Begitu juga perintah mendirikan shalat yang tidak beriringan dengan zakat ditemukan lebih dari 40 kali. Dengan demikian tidaklah berlebih-lebihan sekiranya dikatakan bahwa di dalam Alquran, perintah membayar zakat disebutkan sama banyak dengan perintah mendirikan shalat (sekitar 70 kali). Ayat-ayat tentang kewajiban zakat seperti disebutkan di atas, boleh dikatakan semuanya bersifat umum, mencakup semua jenis harta (simpanan, tabungan) dan semua jenis penghasilan (pertanian, peternakan, perdagangan, jasa, industri, kontraktor, dsb). Misalnya surat At Taubah 103 :
 “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Perintah berinfak, yang sebagiannya dipahami mencakup pembayaran zakat, diperintahkan terhadap semua jenis penghasilan, misalnya surat Al-Baqarah 254,
 “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang lalim”.
 Ayat lain yang menjelaskan zakat adalah mengenai orang yang berhak menerimanya, yaitu surat At Taubah 60:
 “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Adapun penjelasan dan pembatasan tentang jenis harta dan penghasilan yang terkena zakat, begitu juga nisab (batas minimal harta kena zakat) dan kadar (jumlah harta yang wajib dibayarkan sebagai zakat) berasal dari sabda Rasulullah dan praktek yang terjadi pada masa Rasulullah (Sunnah Rasulullah) dan Sahabatnya. Tetapi penjelasan dan rincian ini tidaklah dalam bentuk yang jelas dan lengkap, sehingga harus ditafsirkan, disusun dan ditata terlebih dahulu.
Dengan demikian peluang dan bahkan keharusan untuk ijtihad menjadi relatif besar dan luas. Lebih dari itu hadis-hadis ini juga memuat keterangan tentang hikmah dan pahala dari penunaian zakat dan berbagai hal lain di seputar zakat, yang sekiranya dikelompokkan dapat dipilah menjadi tujuh hal utama sebagai berikut.
Kelompok pertama hadis-hadis yang menjelaskan kewajiban zakat, pahala yang akan diperoleh serta hikmah dan manfaat dari pembayaran zakat. Kelompok kedua hadis yang menjelaskan jenis harta kena zakat, kelompok ketiga menjelaskan nisab (batas minimal harta kena zakat), kelompok keempat menjelaskan kadar zakat (jumlah harta yang dibayarkan sebagai zakat). Kelima menjelaskan kelompok masyarakat (orang) yang berhak menerima zakat, kelompok keenam tentang tata cara pembayaran dan pembagian (pengelolaan) zakat dan kelompok ketujuh tentang zakat fitrah.
Dalam kitab Fath-ul Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, ditemukan 118 hadis di bawah judul Kitab-uz Zakat, (Jilid IV, hlm 3 s/d 151, nomor 1395 s/d 1512). Walaupun jdulnya adalah ”Kitab tentang Zakat”, tidaklah seluruh hadis disini menjelaskan zakat. Sebagian daripadanya menjelaskan sede-kah dalam arti umum. Lebih setengah dari hadis-hadis ini menjelaskan anjuran untuk berzakat dan bersedekah, serta pahala dan manfaatnya, begitu juga celaan untuk orang yang enggan melakukannya.
Mengenai jenis harta serta nisab dan kadar zakat misalnya, Imam al-Bukhari hanya memasukkan (mengakui) beberapa hadis tentang zakat petanian, zakat ternak dan zakat perak (simpanan). Hadis tentang zakat perdagangan dan rikaz tidak ditemukan di dalam himpunan hadis Imam Al-Bukhari ini.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa pembatasan tentang jenis dan persyaratan harta dan penghasilan zakat yang ditemukan di dalam hadis-hadis Rasulullah itu tidaklah bersifat mutlak, sehingga cenderung diperluas mengikuti perbedaan tempat, waktu dan keadaan (mata pencaharian penduduk), sesuai dengan kaidah-kaidah ushul fiqih dan pertimbangan kemaslahatan yang dirasakan oleh para imam mujtahid tersebut. Sebagai contoh, sekiranya kita membuka buku Fiqh-us Sunnah karangan Sayyid Sabiq (Bab/Kitab Zakat), akan terlihat tidak semua bidang atau masalah zakat ada dalilnya yang langsung dari hadis-hadis Rasulullah.
Tentang zakat pertanian misalnya, Said Sabiq secara jelas menyatakan bahwa pada masa Rasululah hasil pertanian yang dizakati hanyalah gandum, jelai, kurma dan anggur. Adapun hasil pertanian lainnya, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan tidak dizakati pada masa Rasulullah (Sayyid Sabiq, jilid 1, hlm 407 dst.). Imam Syafi`i dalam Kitab al-Um tentang zakat perdagangan mencantumkan sebuah riwayat bahwa Khalifah Umar mengambil zakat atas barang yang akan diperdagangkan. Setelah itu beliau juga mengutip riwayat bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan petugasnya untuk memungut zakat atas barang yang akan diperdagangkan apabila telah mencapai nisab (Al-Um, jilid dua, hlm. 63).
Yang menarik dari riwayat ini, beliau tidak mencatumkan hadis bahwa pada masa Rasulullah barang perdagangan sudah dikenakan zakat. Begitu juga di tempat yang lain beliau mencantumkan riwayat bahwa Khalifah Usman bin `Affan ketika membayarkan ”tunjangan” (al-`atha’,al- a`thiyah) yang beliau ambil dari Baitul Mal dan diserahkan kepada orang yang berhak, bertanya apakah dia mempunyai harta yang wajib zakat. Kalau dijawab ada maka Usman memotong kewajiban tersebut dari ”tunjangan” yang dia bayarkan tersebut. Tetapi kalau dijawab tidak ada maka Usman akan memberikan ”tunjangan” tersebut secara penuh.
Lebih dari itu Imam Syafi`i menyatakan bahwa orang pertama yang mengambil zakat atas ”tunjangan” adalah Mu`awiyah bin Abu Sufyan, Khalifah pertama Daulah Bani Umayyah. Yang menarik dalam riwayat dari Umar bin Khatthab, Mu`awiyah dan Umar bin abdul Aziz ini tidak ada ketentuan bahwa zakat tersebut baru diambil setelah sampai haul. Tetapi Imam Syafi`i menyatakan karena ”tunjangan” tersebut merupakan ”fa’idah” maka baru wajib dizakati kalau sudah dimiliki selama satu tahun (sampai haul). Lebih tegas lagi Imam Syafi`i menyatakan bahwa semua harta yang mencapai nisab baru wajib dizakati apabila telah sampai haul kecuali hasil pertanian, harta rikaz dan ma`adin (Al-Um, jilid dua, hlm. 24).
Di atas sudah disinggung bahwa perintah membayar zakat di dalam Alquran bersifat sangat umum, namun di dalam hadis dibatasi, sehingga menjadi relatif sangat sempit. Untuk pertanian misalnya ada hadis yang menyatakan bahwa zakat hanya wajib atas hasil pertanian kurma, anggur, gandum dan jelai. Mungkin karena isinya yang sangat sempit, para ulama memahami hadis ini tidak secara harfiah, tetapi berusaha mencari `illat yang terkandung didalamnya. Sebagian mereka menyatakan `illat tersebut adalah makanan pokok, sebagian yang lain menyatakan tahan disimpan, ada yang menyatakan karena merupakan biji-bijian, ada yang mernyatakan karena ditanam dan ada juga yang menyatakan karena menjadi penghasilan (bernilai ekonomis).
Dengan demikian berdasarkan `illat yang dibangun dengan logika dan pertimbangan masing-masing, semua ulama dan mazhab (mungkin pengecualiannya hanyalah sebagian pengikut mazhab zhahiri) memperluas makna hadis di atas. Ada yang memperluasnya secara relatif terbatas, (misalnya ulama Syafi`iyah) hanya pada biji-bijian yang dijadikan makanan pokok, yang tahan disimpan dan ditanam oleh si petani (jadi hasil pohon sagu yang juga dijadikan makanan pokok tidak wajib dizakati karena pohon sagu di Aceh tidak ditanam oleh petani). Tetapi sebagian ulama yang lain (misalnya ulama Hanafiah) memperluasnya menjadi semua jenis pertanian yang memberikan hasil atau dijadikan mata pencaharian, seperti kelapa, sawit, kopi, pisang dan sebagainya. Dari jalan pikiran para ulama ini penulis cenderung mengikuti para ulama yang menyatakan semua penghasilan (pertanian atau bukan pertanian termasuk sektor jasa di alamnya) sekiranya telah mencapai nisab wajib dizakati.
Dalam kaitan dengan jenis harta kena zakat, hadis-hadis menentukan kadar zakat secara berbeda untuk jenis harta yang berbeda-beda. Terhadap hasil pertanian ada dua kadar zakat. Kalau tanaman tersebut diairi dengan air hujan atau air sungai maka zakatnya 10 % dari hasil panen. Tetapi kalau tanaman tersebut diairi dengan disiram maka zakatnya turun menjadi 5 % saja. Untuk hewan ternak, setiap 40 ekor kambing zakatnya satu ekor kambing setahun; setiap 30 ekor sapi (kerbau) zakatnya satu ekor anak sapi berumur dua tahun, sedang untuk sapi (kerbau) yang berjumah 40 ekor zakatnya tetap satu ekor tetapi yang berumur 3 tahun lebih. Untuk emas zakatnya adalah 2,5 %.
Begitu juga hasil perdagangan zakatnya sama dengan emas yaitu 2,5 %. Zakat yang paling besar adalah zakat harta rikaz, yaitu 20 %. Dari berbagai ketentuan tentang kadar zakat ini, para ulama berusaha mencari `illat yang terkandung di dalamnya, yang kesimpulannya lebih kurang sebagai berikut. Pekerjaan yang tidak memerlukan modal, tidak memerlukan keahlian untuk mengerjakannya atau resiko ruginya relatif kecil maka zakatnya relatif besar. Sebaliknya pekerjaan yang memerlukan modal besar atau memerlukan keahlian yang relatif tinggi, atau resiko gagal atau ruginya relatif besar, maka zakatnya menjadi relatif kecil. Ke dalam kelompok pertama masuk hasil pertanian tadah hujan, dan harta rikaz. Ke dalam yang kedua masuk zakat hewan ternak, zakat perdagangan dan uang simpanan, serta zakat pertanian yang disiram atau dikerjakan secara intensif.
Berdasarkan jalan pikiran di atas maka kadar zakat untuk penghasilan dari sektor jasa ditetapkan 2,5 % sama dengan zakat perdagangan atau emas simpanan (uang atau barang tabungan). Penghasilan dari sektor jasa dianggap termasuk kelompok pekerjaan yang memerlukan keahlian bahkan sebagiannya memerlukan keahlian yang relatif sangat khusus. Dengan jalan pikiran ini juga dapat dinyatakan bahwa zakat untuk usaha pertanian yang memerlukan modal besar dan perawatan sangat intensif, seperti perkebunan besar (industri pertanian) maka zakatnya akan turun juga menjadi 2,5 %.
Hadis-hadis juga menyebutkan bahwa pada semua harta yang wajib dizakati itu ada persyaratan nisab (sebagai pengecualian hanyalah harta rikaz, karena menurut sebagian ulama, harta rikaz wajib dizakati betapapun jumlahnya). Nisab adalah batas minimal jumlah harta (simpanan) atau jumlah penghasilan sebagai ukuran adanya kewajiban zakat. Jadi kalau seseorang memperoleh harta di bawah batas nisab maka dia tidak akan terkena zakat. Pada pertanian nisab tersebut adalah lima wasaq, pada kambing dan domba 40 ekor, pada unta lima ekor, pada lembu dan kerbau 30 ekor, sedang pada emas 20 dinar dan pada perak 200 dirham.
Walaupun jumlah nisab sudah ditentukan untuk berbagai jenis harta, masih ada persoalan tentang cara menghitungnya. Pada pertanian hadis menyatakan agar zakat dihitung pada waktu panen dan ini dipahami bahwa nisab dihitung untuk setiap panen, seperti gandum, padi, jagung, kentang atau kacang-kacangan (tanaman semusim). Tetapi untuk tanaman keras yang umurnya lebih panjang dari satu masa panen, maka nisab dihitung untuk masa satu tahun. Jadi kurma, anggur, langsat atau rambutan yang berbuah sekali setahun maka nisab dihitung sekali setahun pada setiap musim panen. Sedang tanaman yang masa panennya lebih dari sekali dalam setahun seperti kopi dan kemiri, atau berbuah secara relatif terus menerus seperti kelapa atau sawit, maka nisabnya dihitung dari hasil panen selama satu tahun.
Untuk hewan ternak, Hadis Rasulullah menyatakan bahwa nisab dihitung untuk setahun, artinya dalam satu tahun hanya kena zakat satu kali saja. Kalau pada tahun berikutnya jumlah ternak masih berada di atas jumlah nisab maka zakatnya kembali dibayarkan. Begitu juga emas atau perak, wajib dizakati kalau jumlahnya berada di atas nisab dan sudah disimpan selama setahun. Berdasar ketentuan tentang nisab dalam berbagai jenis harta ini, maka jumhur ulama menetapkan bahwa nisab penghasilan sektor jasa adalah jumlah penghasilan selama satu tahun. Artinya kalau penghasilan seseorang selama setahun telah mencapai jumlah nisab (20 dinar emas) barulah zakatnya wajib dikeluarkan.
Dari ketentuan tentang kadar dan nisab zakat yang ada di dalam hadis, dapat ditarik kesimpulan berikutnya, bahwa harta yang dikenai zakat adalah seluruh hasil yang diperoleh dari usaha tersebut. Biaya yang diperlukan untuk memperoleh hasil itu, begitu juga biaya hidup selama melakukan pekerjaan tersebut, tidak akan dijadikan sebagai pengurang atas harta yang akan dikenai zakat. Menggunakan aturan tentang zakat pertanian tadi sebagai contoh, dapat disebutkan, ketika usaha pertanian menjadi intensif dan bahkan padat modal maka penentuan zakat tidak dilakukan dengan cara hasil panen dikurangi biaya produksi.
Tetapi menurut hadis, kadar zakatnya yang diturunkan dari 10 % menjadi 5 % sedangkan harta (penghasilan) kena zakatnya tetap seluruh hasil panen. Tidak ada hadis sahih yang menyebutkan bahwa biaya operasional atau biaya hidup petani sejak dari saat menanam sampai panen dikurangi dari hasil panen dan baru setelah itu dihitung nisabnya. Berdasarkan `illat dan jalan pikiran ini, dapat dinyatakan bahwa zakat harus dibayarkan atas seluruh penghasilan (hasil bersih) dari sektor jasa, tidak dikurangi dengan kebutuhan hidup terlebih dahulu.
Perlu disebutkan, sebagian ulama di Indonesia menya-takan bahwa biaya hidup dan biaya kerja harus dikeluarkan sebelum nisab dihitung. Dengan kata lain sesudah biaya hidup secara wajar (dalam batas minimal) dan biaya kerja dikeluarkan, hasil atau panen atau gaji tersebut tetap mencapai nisab, barulah zakatnya dikeluarkan. Tetapi kalau sesudah dikeluarkan biaya hidup minimal dan biaya kerja sisa penghasilan tidak lagi mencapai nisab maka zakat tidak wajib dikeluarkan.
Kelihatannya pendapat ini diambil dari mazhab Hanafi dan digabungkan dengan mazhab Syafi`i. Demikian penulis katakan, karena di dalam mazhab Hanafi, tidak ada ketenuan nisab pada zakat pertanian. Dengan kata lain, apabila hasil peranian suah lebih dari kebutuhan sehari-hari maka wajib dikeluarkan zakatnya berapapun jumlahnya (walaupun berada di bawah nisab). Karena dalam mazhab hanafi tidak ada ketentuan nisab maka wajar sekiranya mereka menggunakan ukuan kebutuhan hidup dan biaya kerja sebagai pengganti ukuran nisab tersebut.
Selanjutnya berdasarkan hadis tentang nisab dan kadar zakat, serta harta yang dikecualikan dari kewajiban zakat (misalnya Nabi menyatakan tidak dikenakan zakat atas hewan tunggangan, tidak dikenakan zakat atas harta perhiasan), para ulama menyimpulkan bahwa harta kekayaan yang digunakan sebagai peralatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti rumah untuk tempat tinggal dan perabotannya tidak dikenai zakat. Begitu juga hewan tunggangan, kenderaan atau peralatan lain sebagai alat dan perlengkapan kerja, juga tiak dikenai zakat. Hadis juga secara jelas menyatakan bahwa emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan oleh orang perempuan (dalam batas yang wajar sebagai perhiasan) tidak dikenai zakat.
Begitu juga berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa orang yang mempunyai (menyimpan, menabung) emas seba-nyak 20 dinar wajib mengeluarkan zakatnya, maka para ulama menyimpulkan bahwa orang yang menyimpan uang pun apabila nilainya sama (setara) dengan 20 dinar emas atau 200 dirham perak wajib mengeluarkan zakatnya setiap tahun sebanyak 2,5 %. Meneruskan pemahaman ini, uang kelebihan dari penghasilan sekiranya disimpan sampai setahun maka wajib dizakati (kembali) karena telah berubah status dri uang penghasilan menjadi uang simpanan.

















DAFTAR PUSTAKA
Ghozali, I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Kaplan, R. S. dan David P. Norton. 2000. Balance Scorecard: Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Terjemahan: Pasla Yosi Peter R. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Kumalasari, Y. S. 2010. “Evaluasi Terhadap Kinerja Unit Usaha Syariah Pada Bank Konvensional Dengan Perspektif Balance Scorecard”. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Lubis, Arfan I. dan Sutopo. 2003. “Implementasi Konsep Balance Scorecard bagi Small and Medium Business di Indonesia: Suatu Tinjauan Teoritis”. Jurnal EKOBIS, Vol. 4, No. 1, h. 15 – 28.
Mas’ud, F. 2004. Survai Diagnosis Organisasional: Konsep dan Aplikasi. Badan Penerbit Undip.
Mulyadi. 2001. Balanced Scorecard: Alat Manajemen Kontemporer untuk Pelipatganda Kinerja Keuangan Perusahaan. (edisi ke-2). Jakarta: Salemba Empat.
Mulyadi. 2005. System Manajemen Strategic Berbasis Balance Scorecard. UPP AMP YKPN.
Prakosa, Yuniarsa A. 2006. “Pengukuran Kinerja Perusahaan Dengan Pendekatan Balance Scorecard (Studi Kasus Pada PT Waskita Karya (Persero))”. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Sudibyo, B. 1997. “Pengukuran Kinerja Perusahaan Dengan Balance Scorecard: Bentuk, Mekanisme, dan Prospek Aplikasinya pada BUMN”. JEBI, Vol. 12, No.2, h. 35 – 49.
Yuwono, S. 2002. Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Scorecard :Menuju Organisasi Yang Berfokus Pada Strategi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Zudia, M. 2010. “Analisis Penilaian Kinerja Organisasi Dengan Menggunakan Konsep Balance Scorecard Pada PT Bank Jateng Semarang”. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.