ANALISIS BALANCE
SCORECARD SEBAGAI ALAT PENGUKUR KINERJA PERUSAHAAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
ABSTRACT
The
advent of the era of free-market impacts business competition is increasingly
fierce. This condition spur businesses to be concerned about the strategy
pursued. Even companies continue to attempt to formulate and enhance their
business strategies in order to win the competition. Domestic and global
competition requires companies to pay attention to creation and maintenance of
competitive advantage through the delivery of products and services better to
consumers. In order to ensure an ongoing organization with well, then the
organization needs to conduct an evaluation of its performance. In the
evaluation of the required an appropriate performance measurement standards, in
the sense of not only oriented on the financial sector, because it is so
lacking right in the face business competition is increasingly fierce.
Therefore,
it needs to be complemented with information from non-financial sectors, such
as consumer satisfaction, product or service quality, employee loyalty and so
on, so that the management company can take the right decision for the benefit
of living in the long term. Today, it is realized that the measurement of
financial performance used by many Companies to measure executive performance
is no longer adequate, so developed a concept of a "Balanced
Scorecard," Balanced scorecard is a measurement concept business
performance.
Keywords:
Balanced Scorecard, performance measurement 2
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan
dunia bisnis yang semakin kompetitif menyebabkan perubahan besar dalam hal
persaingan, produksi, pemasaran, pengelolaan sumber daya manusia, dan
penanganan transaksi antara perusahaan dengan konsumen dan perusahaan dengan
perusahaan lain. Persaingan yang bersifat global dan tajam menyebabkan
terjadinya penciutan laba yang diperoleh perusahaan-perusahaan yang memasuki
persaingan tingkat dunia. Hanya perusahaan yang mempunyai keunggulan yang mampu
memuaskan atau memenuhi kebutuhan konsumen, mampu menghasilkan produk yang
bermutu, dan cost effective
Perubahan-perubahan
tersebut mendorong perusahaan untuk mempersiapkan diri agar bisa diterima di
lingkungan global. Kunci persaingan dalam pasar global adalah kualitas total
yang mencakup penekanan-penekanan pada kualitas produk, kualitas biaya atau
harga, kualitas pelayanan, kualitas penyerahan tepat waktu, dan
kepuasan-kepuasan lain yang terus berkembang guna memberikan kepuasan terus
menerus kepada pelanggan.
Dengan
adanya persaingan global, perusahaan dihadapkan pada penentuan strategi dalam
pengelolaan usahanya. Penentuan strategi akan dijadikan sebagai landasan dan
kerangka kerja untuk mewujudkan sasaran – sasaran kerja yang telah ditentukan
oleh manajemen. Oleh karena itu dibutuhkan suatu alat untuk mengukur kinerja
sehingga dapat diketahui sejauh mana strategi dan sasaran yang telah ditentukan
dapat tercapai. Penilaian kinerja memegang peranan penting dalam dunia usaha,
dikarenakan dengan dilakukanya penilaian kinerja dapat diketahui efektivitas
dari penetapan suatu strategi dan penerapannya dalam kurun waktu tertentu.
Penilaian kinerja dapat mendeteksi kelemahan atau kekurangan yang masih
terdapat dalam perusahaan, untuk selanjutnya dilakukan perbaikan dimasa mendatang.
Penilaian
atau pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor penting dalam perusahaan.
Selain digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan, pengukuran kinerja juga
dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan sistem imbalan dalam perusahaan,
misalnya untuk menentukan tingkat gaji karyawan maupun reward yang layak. Pihak
manajemen juga dapat menggunakan pengukuran kinerja perusahaan sebagai alat
untuk mengevaluasi periode yang lalu.
Selama
ini yang umum digunakan dalam perusahaan adalah pengukuran kinerja tradisional
yang hanya menitikberatkan pada sektor keuangan saja. Pengukuran kinerja dengan
sistem ini menyebabkan orientasi perusahaan hanya pada keuntungan jangka pendek
dan cenderung mengabaikan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang.
Pengukuran kinerja yang menitikberatkan pada sektor keuangan saja kurang mampu
mengukur kinerja harta-harta tak tampak (intangible assets) dan harta-harta
intelektual (sumber daya manusia) perusahaan. Selain itu pengukuran kinerja
dengan cara ini juga kurang mampu bercerita banyak mengenai masa lalu
perusahaan, kurang memperhatikan sektor eksternal, serta tidak mampu sepenuhnya
menuntun perusahaan ke arah yang lebih baik
.
Penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Kaplan dan Norton pada tahun 1990 yaitu tentang
”Pengukuran Kinerja Organisasi Masa Depan”. Penelitian tersebut berkaitan
dengan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Penelitian ini didorong oleh
kesadaran pada saat itu dimana ukuran kinerja keuangan yang digunakan oleh
semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai. Hasil
penelitian menyebutkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif di masa depan
diperlukan ukuran komprehensif yang meliputi empat perspektif, yaitu perspektif
keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, serta perspektif
pertumbuhan dan pembelajaran, yang disebut dengan Balance Scorecard. Balance
Scorecard digunakan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke
kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangka
panjang.
Dari
percobaan penggunaan Balance Scorecard pada tahun 1990-1992,
perusahaan-perusahaan yang ikut serta dalam penelitian tersebut menunjukkan
perlipatgandaan kinerja keuangan perusahaan. Keberhasilan ini disadari sebagai
akibat dari penggunaan ukuran kinerja Balance Scorecard yang komprehensif.
Dengan menambahkan ukuran kinerja nonkeuangan, seperti kepuasan pelanggan,
produktivitas dan cost effectiveness proses bisnis internal, dan pembelajaran
dan pertumbuhan, eksekutif dipacu untuk memperhatikan dan melaksanakan
usaha-usaha yang merupakan pemacu sesungguhnya untuk mewujudkan kinerja
keuangan. (Mulyadi, 2001)
Balance
Scorecard menggambarkan adanya keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan
tujuan jangka panjang, antara ukuran keuangan dan nonkeuangan, antara indicator
lagging dan indicator leading. Balance Scorecard cukup komprehensif untuk
memotivasi eksekutif dalam mewujudkan kinerja dalam keempat perspektif
tersebut, agar keberhasilan keuangan yang dihasilkan bersifat berkesinambungan.
Rumusan Masalah
1. Apa
definisi dari Kinerja?
2.
Apa pengertian kinerja menurut pandangan islam?
3. Apa
tujuan dan manfaat Penilaian Kinerja?
4.
Apa saja karakteristik Sistem Penilaian Kinerja?
5.
Apa definisi dari Balance Scorecard?
6. Apa
kelebihan dan kekurangan Balance
Scorecard?
7. Perspektif
apa saja yang mengindikasi Penilaian kerja dengan Balance Scorecard?
8. Bagaimana
indicator Penilaian kerja dengan Balance scorecard dalam quran dan hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Kinerja
Kinerja
adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu
tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan
operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki
Menurut
Mulyadi (2001), kinerja adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan
sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu
periode.
Pemahaman tentang kinerja (performance)
memperlihatkan sampai sejauh mana sebuah organisasi, baik pemerintah, swasta,
organisasi laba ataupun nirlaba, menafsirkan tentang kinerja sebagai suatu
pencapaian yang relevan dengan tujuan organisasi. Sehingga, terdapat dua asumsi
umum tentang titik berangkat pemahaman pengertian kinerja.
Asumsi pertama, yaitu pengertian kinerja yang
dititikberatkan pada kinerja individu, dalam pengertian sebagai bentuk prestasi
yang dicapai individu berdasarkan target kerja yang diembangnya atau tingkat
pencapaian dari beban kerja yang telah ditargetkan oleh organisasi kepadanya.
Asumsi kedua, yaitu pengertian kinerja yang
dinilai dari pencapaian secara totalitas tujuan sebuah organisasi dari
penetapan tujuan secara umum dan terperinci organisasi tersebut. Misalnya;
pencapaian visi dan misi serta tujuan organisasi dari penjabaran visi dan misi
organisasi tersebut.
Asumsi ketiga, yaitu penilaian kinerja proses.
asumsi ini tidak terlalu umum digunakan sebagai titik berangkat dalam pemahaman
kinerja,
Terkait
dengan ketiga asumsi tersebut di atas, Rummler dan Brache (1995) dalam Sudarmanto
(2009) mengemukakan ada 3 (tiga) level kinerja, yaitu :
- Kinerja
organisasi; merupakan pencapaian hasil (outcome) pada level atau
unit analisis organisasi. Kinerja pada level organisasi ini terkait dengan
tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan manajemen organisasi.
- Kinerja
proses; merupakan kinerja pada proses tahapan dalam menghasilkan produk
atau pelayanan. Kinerja pada level proses ini dipengaruhi oleh tujuan
proses, rancangan proses, dan manajemen proses.
- Kinerja
individu; merupakan pencapaian atau efektivitas pada tingkat pegawai atau
pekerjaan. Kinerja pada level ini dipengaruhi oleh tujuan pekerjaan,
rancangan pekerjaan, dan manajemen pekerjaan serta karakteristik individu.
Sedangkan
Lusthaus et. al., (2002) menyatakan bahwa secara umum, literature pengembangan
organisasi membahas kinerja pada empat tingkatan:
- Individu
karyawan (performance appraisal).
- Tim
atau kelompok kecil (team performance).
- Program
(program performance), dan
- Organisasi
(organizational performance).
Pandangan
tentang kinerja yang didasarkan pada asumsi-asumsi tersebut oleh para ahli
masing-masing memberi pengertian yang berbeda baik kinerja secara individu
maupun organisasi. Seperti pandangan kinerja individu yang dikemukakan oleh
Cardy et al. (1995) bahwa kinerja dipandang sebagai bagian dari fungsi sistem
kerja dari karakteristik seorang pekerja, karena karakteristik pekerja
diasumsikan memiliki pengaruh besar terhadap kinerja. Hal ini didasari pada
perbedaan-perbedaan individu dalam melaksanakan pekerjaan sehingga mempengaruhi
kinerja.
Pengertian kinerja dari asumsi individu juga dikemukakan
oleh Gruneberg (1979) bahwa kinerja selain merupakan respon individu pada
pekerjaan, juga merupakan perilaku yang diperagakan secara aktual oleh individu
sebagai respons pada pekerjaan yang diberikan kepadanya yang dilihat atas dasar
hasil kerja, derajat kerja dan kualitas kerja. Sejalan dengan pengertian di
atas, Yuchtman dan Seashore (1967) mengemukakan pengertian kinerja sebagai
suatu kemampuan atau keberhasilan kerja individu dalam suatu organisasi sesuai
dengan pekerjaan yang diberikan kepadanya untuk mencapai tujuan organisasi.
Sedangkan Bernardin dan Russel (1993) mendefinisikan kinerja
sebagai catatan hasil kerja individu yang diperoleh melalui fungsi-fungsi
pekerjaan atau kegiatan individu selama periode waktu tertentu. Bahua (2010)
mengemukakan pengertian kinerja (performance) sebagai aksi atau perilaku
individu yang berupa bagian dari fungsi kerja aktualnya dalam suatu organisasi,
yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam periode waktu tertentu
untuk mencapai tujuan organisasi yang mempekerjakannya. Mungkin pengertian
kinerja yang digambarkan oleh Hofer (1983) dalam Carton dan Hofer (2006)
dapat mewakili pengertian kinerja dari asumsi proses. Bahwa kinerja adalah
sebuah konsep kontekstual yang terkait dengan fenomena yang sedang dipelajari.
Dalam konteks kinerja keuangan organisasi, kinerja adalah ukuran dari perubahan
keadaan keuangan organisasi, atau hasil keuangan yang dihasilkan dari keputusan
manajemen dan pelaksanaan keputusan-keputusan oleh anggota organisasi. Karena
persepsi hasil ini adalah kontekstual, langkah-langkah yang digunakan untuk
mewakili kinerja yang dipilih didasarkan pada kondisi organisasi yang diamati.
Langkah-langkah yang dipilih merupakan hasil yang dicapai, baik atau buruk.
Pemahaman kinerja dari asumsi organisasi sebagaimana
dikemukakan oleh Yuchtman dan Seashore (1967) bahwa kinerja sebagai kemampuan
suatu organisasi yang memanfaatkan lingkungannya untuk mengakses sumber-sumber
daya yang terbatas. Selanjutnya dikemukakan bahwa kinerja adalah sebuah
pengukuran yang mencakup persepsi dari berbagai stakeholder dalam
organisasi. Gibson (1996) sendiri, belum begitu tegas membedakan pengertian
yang dikemukakanya tentang kinerja apakah dari asumsi individu atau asumsi
organisasi ataukah asumsi proses, tetapi tersirat pengertian bahwa kinerja
organisasi didasari oleh kinerja individu, sebagaimana yang ditulisnya bahwa
kinerja adalah hasil kerja yang diinginkan dari perilaku dan kinerja individu
yang merupakan dasar dari kinerja organisasi. Secara umum, konsep kinerja
organisasi didasarkan pada gagasan bahwa organisasi adalah asosiasi sukarela
dari asset produktif, termasuk manusia, sumber daya fisik dan modal, untuk
tujuan mencapai tujuan bersama (Alchian dan Demsetz, 1972; Jensen dan Meckling
, 1976; Simon, 1976; Barney, 2002 dalam Carton dan Hofer 2006). Mereka
menyediakan aset hanya untuk menjalankan organisasi mereka asalkan mereka puas
dengan nilai yang mereka terima di bursa, relatif terhadap penggunaan
alternatif aset. Sebagai konsekwensinya, esensi dari kinerja adalah penciptaan
nilai. Selama nilai yang diciptakan dengan menggunakan asset, kontribusinya
sama atau lebih besar dari nilai yang diharapkan oleh mereka, aset akan terus
tersedia untuk organisasi dan organisasi akan terus eksis. Oleh karena itu,
penciptaan nilai, seperti yang didefinisikan oleh penyedia sumberdaya, adalah
kriteria kinerja utama secara keseluruhan untuk setiap organisasi (Carton dan
Hofer, 2006).
Lusthaus et. al., (2002) mengemukakan bahwa setiap
organisasi harus berusaha memenuhi tujuannya dengan pengeluaran yang diterima
dari sumberdaya sambil menjamin keberlanjutan jangka panjang. Berarti tugas
atau pekerjaan dilakukan secara efektif dan efisien dan tetap relevan dengan stakeholder
(pemangku kepentingan). Itulah kinerja organisasi yang harus menjawab
beberapa pertanyaan sebagai berikut :
- Bagaimana
organisasi efektif dalam bergerak kearah pemenuhan misinya (misalnya :
efektivitas program utama, efektivitas harapan klien, efektivitas
tanggungjawab fungsional, dan efektivitas memberikan layanan yang
bermanfaat);
- Bagaimana
organisasi efektif dalam memenuhi misinya (misalnya : presepsi efisiensi
prosedur kerja/layanan, mengacu kepada perbandingan biaya produk dan
layanan, dan perenggangan alokasi keuangan);
- Apakah
organisasi masih terus relevansinya dari waktu ke waktu (misalnya :
Adaptasi visi misi, pertemuan stakeholder, kebutuhan beradaptasi
dengan lingkungan, dan keberlanjutan dari waktu ke waktu);
- Apakah
organisasi secara finansial layak (misalnya : organisasi memiliki beberapa
sumber dana, sumber pendanaan yang dapat dipercaya dari waktu ke waktu,
dan bantuan dana dikaitkan dengan pertumbuhan atau perubahan yang
dicapai); dan
- Seberapa
baik kinerja organisasi.
Pengertian
yang dikemukakan oleh Lusthaus et.al., di atas menggambar kan pemahaman
kinerja dari asumsi organisasi dan asumsi proses, karena selain menekaknkan
hasil kerja yang diukur dari organisasi sebagai kinerja, juga mempertanyakan
bagian-bagian dari proses yang dilaksanakan dalam sebuah organisasi dan memberi
penilaian hasil terhadap bagian-bagian proses organisasi bila
pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2001 :
82) faktor-faktor yang memengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu:
- Kemampuan
mereka,
- Motivasi,
- Dukungan
yang diterima,
- Keberadaan
pekerjaan yang mereka lakukan, dan
- Hubungan
mereka dengan organisasi.
Berdasarkaan pengertian di atas, penulis menarik kesimpulan
bahwa kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output)
individu maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh
kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta
keinginan untuk berprestasi.
Adapun
faktor-faktor yang memengaruhi kinerja dikemukakan oleh Mangkunegara
(2000) antara lain :
- Faktor
kemampuan Secara psikologis.
Kemampuan
(ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita
(pendidikan). Oleh karena itu pegawai perlu dtempatkan pada pekerjaan yang
sesuai dengan keahliannya.
2. Faktor motivasi.
Motivasi
terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi
(situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai
terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang
mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal.
David
C. Mc Cleland (1997) seperti dikutip Mangkunegara (2001 : 68), berpendapat
bahwa “Ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian
kerja”. Motif berprestasi dengan pencapaian kerja. Motif berprestasi adalah
suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas
dengan sebaik baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan
predikat terpuji. Selanjutnya Mc. Clelland, mengemukakan 6 karakteristik dari
seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu :
- Memiliki
tanggung jawab yang tinggi.
- Berani
mengambil risiko.
- Memiliki
tujuan yang realistis
- Memiliki
rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan.
- Memanfaatkan
umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan
- Mencari
kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogamkan.
Pendapat
yang lain dikemukakan oleh Gibson (1987) bahwa ada 3 faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja :
- Faktor
individu : kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga,
pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang.
- Faktor
psikologis : persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan
kepuasan kerja.
- Faktor
organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan,
sistem penghargaan (reward system)
Dari
berbagai pandangan para ahli diatas dapat dikemukakan bahwa kinerja dipengaruhi
oleh berbagai faktor baik dari faktor individu seperti kemampuan,
ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan
demografi seseorang, maupun dari faktor psikologis seperti persepsi,
peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja. Selain itu Faktor
organisasi seperti struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan,
sistem penghargaan (reward system) turut berpengaruh terhadap kinerja
seseorang.
Pengertian Kinerja menurut perspektif Islam
Menurut Mahsun (2006: 25), kinerja (performance)
adalah gambaran tentang tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/
program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi
yang tertuang dalam rencana strategis (strategic planning) suatu
organisasi. Pengukuran kinerja (performance measurement) adalah
suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang
telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi pengelolaan
sumberdaya (input) dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan
jasa, hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan, dan
efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan. Sementara itu, menurut Robbins
(1996) dalam Siagian (2002), kinerja adalah tingkat keberhasilan dalam
melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Mursi (1997) dalam Wibisono (2002), kinerja religius
Islami adalah suatu pencapaian yang diperoleh seseorang atau organisasi dalam
bekerja/berusaha yang mengikuti kaidah-kaidah agama atau prinsip-prinsip
ekonomi Islam. Terdapat beberapa dimensi kinerja Islami meliputi:
1. Amanah dalam bekerja yang
terdiri atas: profesional, jujur, ibadah dan amal perbuatan; dan
2. Mendalami agama dan profesi
terdiri atas: memahami tata nilai agama, dan tekun bekerja.
Indikator
kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan
tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan kegiatan/ usaha yang telah
ditetapkan. Menurut Zadjuli (2006b), Islam mempunyai beberapa unsur dalam
melakukan penilaian kinerja suatu kegiatan/usaha yang meliputi:
- Niat
bekerja karena Allah,
- Dalam
bekerja harus memberikan kaidah/norma/syariah secara totalitas,
- Motivasi
bekerja adalah mencari keberuntungan di dunia dan akherat,
- Dalam
bekerja dituntut penerapan azas efisiensi dan manfaat dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan,
- Mencari
keseimbangan antara harta dengan ibadah, dan setelah berhasil dalam
bekerja hendaklah bersyukur kepada Allah SWT.
Dalam
unsur penilaian kinerja tersebut, orang yang berkerja adalah mereka yang
menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan
negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu, kategori “ahli surga”
seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai
pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manajer,
direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi sebaliknya
al-Qur’an menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah) itu
adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur
katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab
sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya.
Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang
sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sifat-sifat di
ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang di dunia dan
di akhirat kelak. Jika membaca hadits-hadits Rasulullah SAW tentang ciri-ciri
manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa di antara mereka itu
ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata,
telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan
sunnah yang banyak dan seumpamanya.
Dalam Islam, kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada
apa yang dilakukannya. Oleh karena itu suatu pekerjaan yang mendekatkan
seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian
dan reward yang setimpal. Oleh karena itu dalam hadits Rasulullah
disebutkan :
“Barang
siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka
pada malam itu ia diampuni Allah.” (HR. Ahmad & Ibnu Asakir)
Menurut Asyraf A. Rahman (dalam
Khayatun, 2008), istilah “kerja” dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk
kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan
waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah,
tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur
kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta
negara. Diantara hadits yang menjelaskan tentang kerja dalam Islam, sebagaimana
berikut:
Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam r.a., ia berkata:
Rasulullah Saw bersabda: Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian
mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan
memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah
mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada
sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits-hadits yang disebutkan di atas, menunjukkan
bahwa bekerja merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam.
Rasulullah SAW memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam
Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk
memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung
tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang teramat mulia
bahkan dikategorikan jihad fi sabilillah. Dengan demikian Islam
memberikan apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka yang mau berusaha dengan
sekuat tenaga dalam mencari nafkah (penghasilan). Sebagaimana riwayat :
“Rasulullah saw pernah ditanya, Pekerjaan apakah yang paling
baik? Beliau menjawab, Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan
tangannya sendiri dan semua perjual belian yang dianggap baik.” (HR. Ahmad dan
Baihaqi)
Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang
telah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat
dan kemuliannya, karena bekerja merupakan kewajiban.
Menurut Syamsudin (dalam Heriyanto, 2008), Seorang pekerja
atau pengusaha muslim dalam melakukan berbagai aktivitas usaha harus
selalu bersandar dan berpegang teguh pada dasar dan prinsip berikut ini:
- Seorang
muslim harus bekerja dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Karena
dalam kacamata syariat, bekerja hanyalah untuk menegakkan ibadah kepada
Allah SWT agar terhindar dari hal-hal yang diharamkan dan dalam rangka
memelihara diri dari sifat-sifat yang tidak baik, seperti meminta-minta
atau menjadi beban orang lain. Rasulullah SAW bersabda:
“Binasalah
orang- orang Islam kecuali mereka yang berilmu. Maka binasalah golongan
berilmu, kecuali mereka yang beramal dengan ilmu mereka. Dan binasalah golongan
yang beramal dengan ilmu mereka kecuali mereka yang ikhlas. Sesungguhnya
golongan yang ikhlas ini juga masih dalam keadaan bahaya yang amat besar …”
Bekerja juga bisa menjadi sarana untuk berbuat baik kepada
orang lain dengan cara ikut andil membangun umat di masa sekarang dan masa yang
akan datang, serta melepaskan umat dari belenggu ketergantungan kepada ummat
lain dan jeratan transaksi haram.
Seorang muslim dalam usaha harus berhias diri dengan akhlak
mulia, seperti: sikap jujur, amanah, menepati janji, menunaikan hutang dan
membayar hutang dengan baik, memberi kelonggaran orang yang sedang mengalami
kesulitan membayar hutang, menghindari sikap menangguhkan pembayaran hutang,
tamak, menipu, kolusi, melakukan pungli (pungutan liar), menyuap dan
memanipulasi atau yang sejenisnya. Seorang muslim harus bekerja dalam hal-hal
yang baik dan usaha yang halal. Sehingga dalam pandangan seorang pekerja dan
pengusaha muslim, tidak akan sama antara proyek dunia dengan proyek akhirat.
“Dari
Miqdan r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: Tidaklah makan seseorang lebih
baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s., makan dari hasil
usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
Baginya
tidak akan sama antara yang baik dan yang buruk atau antara yang halal dan
haram, meskipun hal yang buruk itu menarik hati dan menggiurkan karena besarnya
keuntungan materi yang didapat. Ia akan selalu menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram, bahkan hanya berusaha mencari rizki sebatas yang
dibolehkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
- Seorang
muslim dalam bekerja harus menunaikan hak-hak yang harus ditunaikan, baik
yang terkait dengan hak-hak Allah SWT (seperti zakat) atau yang terkait
dengan hak-hak manusia (seperti memenuhi pembayaran hutang atau memelihara
perjanjian usaha dan sejenisnya). Karena menunda pembayaran hutang bagi
orang yang mampu merupakan suatu bentuk kedzaliman. Menyia-nyiakan amanah
dan melanggar perjanjian bukanlah akhlak seorang muslim, hal itu merupakan
kebiasaan orangorang munafik.
- Seorang
muslim harus menghindari transaksi riba atau berbagai bentuk usaha haram
lainnya yang menggiring ke arahnya. Karena dosa riba sangat berat dan
harta riba tidak berkah, bahkan hanya akan mendatangkan kutukan dari Allah
SWT dan Rasul-Nya, baik di dunia maupun akherat.
- Seorang
pekerja muslim tidak memakan harta orang lain dengan cara haram dan
bathil, karena kehormatan harta seseorang seperti kehormatan darahnya.
Harta seorang muslim haram untuk diambil kecuali dengan kerelaan hatinya
dan adanya sebab syar’i untuk mengambilnya, seperti upah kerja, laba
usaha, jual beli, hibbah, warisan, hadiah dan yang semisalnya.
- Seorang
pengusaha atau pekerja muslim harus menghindari segala bentuk sikap maupun
tindakan yang bisa merugikan orang lain. Ia juga harus bisa menjadi mitra
yang handal sekaligus kompetitor yang bermoral, yang selalu mengedepankan
kaidah “Segala bahaya dan yang membahayakan adalah haram hukumnya”.
- Seorang
pengusaha dan pekerja muslim harus berpegang teguh pada aturan syari’at
dan bimbingan Islam agar terhindar dari pelanggaran dan penyimpangan yang
mendatangkan saksi hukum dan cacat moral. Dan hal ini dapat dilihat dari
niat pekerja tersebut, sebagaimana hadits Rasulullah yang diriwayatkan
oleh Umar r.a., berbunyi :
“Bahwa
setiap amal itu bergantung pada niat, dan setiap individu itu dihitung
berdasarkan apa yang diniatkannya …” Seorang muslim dalam bekerja dan berusaha
harus bersikap loyal kepada kaum mukminin dan menjadikan ukhuwah di atas
kepentingan bisnis, sehingga bisnis tidak menjadi sarana untuk menciptakan
ketegangan dan permusuhan sesama kaum muslimin. Dan ketika berbisnis jangan
berbicara sosial, sementara ketika bersosial jangan berbicara bisnis, karena
berakibat munculnya sikap tidak ikhlas dalam beramal dan berinfak.
Berdasarkan
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja adalah tindakan
pengukuran yang dapat dilakukan terhadap berbagai aktifitas dalam rantai nilai
yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai
umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu
rencana dan titik di mana perusahaan memerlukan penyesuaian atas aktivitas
perencanaan dan pengendalian tersebut.
Tujuan dan Manfaat Pengukuran
Kinerja
Pengukuran
kinerja mempunyai tujuan pokok yaitu untuk memotivasi karyawan dalam mencapai
sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan
sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan.
Menurut
Mulyadi (2001), manfaat sistem pengukuran kinerja adalah sebagai berikut:
1. Mengelola
operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan
secara maksimum.
2. Membantu
pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti promosi,
pemberhentian dan mutasi.
3. Mengidentifikasi
kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria
seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.
4. Menyediakan
umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja
mereka.
5. Menyediakan
suatu dasar bagi distribusi penghargaan.
Karakteristik Sistem Pengukuran
Kinerja
Dengan
munculnya berbagai paradigma baru di mana bisnis harus digerakkan oleh
konsumen-focused, suatu sistem pengukuran kinerja yang efektif paling tidak
harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut (Yuwono dkk, 2002):
1. Didasarkan
pada masing-masing aktivitas dan karakteristik organisasi itu sendiri sesuai
perspektif pelanggan.
2. Evaluasi
atas berbagai aktivitas, mengggunakan ukuran-ukuran kinerja yang
konsumen-validated.
3. Sesuai
dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi pelanggan, sehingga
menghasilkan penilaian yang komprehensif.
4. Memberikan
umpan balik untuk membantu seluruh anggota organisasi mengenali masalah-masalah
yang mempunyai kemungkinan untuk diperbaiki.
Balanced Scorecard
Menurut
Kaplan dan Norton (1996), Balanced Scorecard merupakan alat pengukur kinerja
eksekutif yang memerlukan ukuran komprehensif dengan empat perspektif, yaitu
perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, dan
perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Sementara itu Anthony, Banker, Kaplan,
dan Young (1997) mendefinisikan Balanced Scorecard sebagai: “a measurement and
management system that views a business unit’s performance from four
perspectives: financial, customer, internal business process, and learning and
growth.”
Dengan
demikian, Balanced Scorecard merupakan suatu alat pengukur kinerja perusahaan
yang mengukur kinerja perusahaan secara keseluruhan, baik secara keuangan
maupun nonkeuangan dengan menggunakan empat perspektif yaitu, perspektif
keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, dan perspektif
pertumbuhan dan pembelajaran. Pendekatan Balance Scorecard dimaksudkan untuk
menjawab pertanyaan pokok, yaitu (Kaplan dan Norton, 1996):
1. Bagaimana
penampilan perusahaan dimata para pemegang saham? (perspektif keuangan)
2. Bagaimana
pandangan para pelanggan terhadap perusahaan? (perspektif pelanggan)
3. Apa
yang menjadi keunggulan perusahaan? (perspektif bisnis internal)
4. Apa
perusahaan harus terus menerus melakukan perbaikan dan menciptakan nilai secara
berkesinambungan? (perspektif pertumbuhan dan pembelajaran)
Selain
itu, Balanced Scorecard juga memberikan kerangka berpikir untuk menjabarkan
strategi perusahaan ke dalam segi operasional. Kaplan dan Norton (1996)
mengatakan bahwa perusahaan menggunakan focus pengukuran scorecard untuk
menghasilkan berbagai proses manajemen, meliputi :
1. Memperjelas
dan menerjemahkan visi dan strategi
2. Mengkomunikasikan
dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis
3. Merencanakan,
menetapkan sasaran, dan menyelaraskan berbagai inisiatif strategis
Meningkatkan
umpan balik dan pembelajaran strategis
Dengan
Balanced Scorecard, tujuan suatu perusahaan tidak hanya dinyatakan dalam ukuran
keuangan saja, melainkan dinyatakan dalam ukuran dimana perusahaan tersebut
menciptakan nilai terhadap pelanggan yang ada pada saat ini dan akan datang,
dan bagaimana perusahaan tersebut harus meningkatkan kemampuan internalnya
termasuk investasi pada manusia, sistem, dan prosedur yang dibutuhkan untuk
memperoleh kinerja yang lebih baik di masa mendatang.
Melalui
Balanced Scorecard diharapkan bahwa pengukuran kinerja keuangan dan nonkeuangan
dapat menjadi bagian dari sistem informasi bagi seluruh pegawai dan tingkatan
dalam organisasi. Saat ini Balance Scorecard tidak lagi dianggap sebagai
pengukur kinerja, namun telah menjadi sebuah rerangka berpikir dalam
pengembangan strategi.
Keunggulan Balanced Scorecard
Balanced
Scorecard memiliki keunggulan yang menjadikan sistem manajemen strategik saat
ini berbeda secara signifikan dengan sistem manajemen strategik dalam manajemen
tradisional (Mulyadi,2001). Manajemen strategik tradisional hanya berfokus ke
sasaran-sasaran yang bersifat keuangan, sedangkan sistem manajemen strategik
kontemporer mencakup perspektif yang luas yaitu keuangan, pelanggan, proses
bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Selain itu berbagai
sasaran strategik yang dirumuskan dalam sistem manajemen strategik tradisional
tidak koheren satu dengan lainnya, sedangkan berbagai sasaran strategik dalam
sistem manajemen strategic kontemporer dirumuskan secara koheren. Di samping
itu, Balanced Scorecard menjadikan sistem manajemen strategik kontemporer
memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh sistem manajemen strategik
tradisional, yaitu dalam karakteristik keterukuran dan keseimbangan.
Menurut
Mulyadi (2001), keunggulan pendekatan Balanced Scorecard dalam system
perencanaan strategic adalah mampu menghasilkan rencana strategic yang memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Komprehensif.
Balanced Scorecard menambahkan perspektif
yang ada dalam perencanaan strategic, dari yang sebelumnya hanya pada
perspektif keuangan, meluas ke tiga perspektif yang lain, yaitu : pelanggan,
proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan
perspektif rencana strategic ke perspektif nonkeuangan tersebut menghasilkan
manfaat sebagai berikut:
a. Menjanjikan
kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang,
b. Memampukan
perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.
2. Koheren
Balanced Scorecard mewajibkan personel untuk
membangun hubungan sebab akibat di antara berbagai sasaran strategik yang
dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang
ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan
sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian, kekoherenan sasaran strategik yang
dihasilkan dalam sistem perencanaan strategik memotivasi personel untuk
bertanggung jawab dalam mencari inisiatif strategik yang bermanfaat untuk
menghasilkan kinerja keuangan. Sistem perencanaan strategic yang menghasilkan
sasaran strategik yang koheren akan menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan
berjangka panjang, karena personel dimotivasi untuk mencari inisiatif strategik
yang mempunyai manfaat bagi perwujudan sasaran strategik di perspektif
keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Kekoherenan
sasaran strategic yang menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan sangat
dibutuhkan oleh perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompetitif.
3. Seimbang
Keseimbangan sasaran strategik yang
dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja
keuangan berjangka panjang. Jadi perlu diperlihatkan garis keseimbangan yang
harus diusahakan dalam menetapkan sasaran-sasaran strategic di keempat
perspektif.
4. Terukur
Keterukuran sasaran strategik yang
dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan ketercapaian berbagai
sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Semua sasaran strategik
ditentukan oleh ukurannya, baik untuk sasaran strategik di perspektif keuangan
maupun sasaran strategik di perspektif nonkeuangan.
Dengan Balanced Scorecard, sasaran-sasaran
strategik yang sulit diukur, seperti sasaran-sasaran strategik di perspektif
nonkeuangan, ditentukan ukurannya agar dapat dikelola, sehingga dapat
diwujudkan. Dengan demikian keterukuran sasaran-sasaran strategik di perspektif
nonkeuangan tersebut menjanjikan perwujudan berbagai sasaran strategik
nonkeuangan, sehingga kinerja keuangan dapat berlipat ganda dan berjangka
panjang.
Perspektif Balanced Scorecard
1.
Perspektif
Keuangan
Perspektif keuangan tetap digunakan dalam
Balance Scorecard, karena ukuran keuangan menunjukkan apakah perencanaan dan
pelaksanaan strategi perusahaan memberikan perbaikan atau tidak bagi
peningkatan keuntungan perusahaan. Perbaikan-perbaikan ini tercermin dalam
sasaran-sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur,
pertumbuhan usaha, dan nilai pemegang saham.
Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan
adanya tahapan dari siklus kehidupan bisnis, yaitu: growth, sustain, dan
harvest (Kaplan dan Norton, 2001). Tiap tahapan memiliki sasaran yang berbeda,
sehingga penekanan pengukurannya pun berbeda pula.
1. Growth
(berkembang) adalah tahapan awal siklus kehidupan perusahaan dimana perusahaan
memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan
yang baik. Di sini manajemen terikat dengan komitmen untuk mengembangkan suatu
produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan suatu produk/jasa dan
fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan system,
infrastruktur, dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global,
serta membina dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan.
2. Sustain
(bertahan) adalah tahapan kedua di mana perusahaan masih melakukan investasi
dan reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian terbaik. Dalam tahap
ini, perusahaan mencoba mempertahankan pangsa pasar yang ada, bahkan
mengembangkannya, jika mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan
untuk menghilangkan bottleneck, mengembangkan kapasitas, dan meningkatkan
perbaikan operasional secara konsisten. Sasaran keuangan pada tahap ini
diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan.
Tolak ukur yang kerap digunakan pada tahap ini, misalnya ROI, profit margin,
dan operating ratio.
3. Harvest
(panen) adalah tahapan ketiga di mana perusahaan benar-benar memanen/menuai
hasil investasi di tahap-tahap sebelumnya. Tidak ada lagi investasi besar, baik
ekspansi maupun pembangunan kemampuan baru, kecuali pengeluaran untuk
pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Sasaran keuangan adalah hal yang utama
dalam tahap ini, sehingga diambil sebagai tolak ukur, yaitu memaksimumkan arus
kas masuk dan pengurangan modal kerja.
2.
Perspektif
Pelanggan
Filosofi manajemen terkini telah menunjukkan
peningkatan pengakuan atas pentingnya konsumen focus dan konsumen satisfaction.
Perspektif ini merupakan leading indicator. Jadi, jika pelanggan tidak puas
maka mereka akan mencari produsen lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kinerja yang buruk dari perspektif ini akan menurunkan jumlah pelanggan di masa
depan meskipun saat ini kinerja keuangan terlihat baik.
Oleh Kaplan dan Norton (2001) perspektif
pelanggan dibagi menjadi dua kelompok pengukuran, yaitu: customer core
measurement dan customer value prepositions. Customer Core Measurement memiliki
beberapa komponen pengukuran, yaitu:
1. Market
Share (pangsa pasar); Pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai
perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, yang meliputi: jumlah pelanggan,
jumlah penjualan, dan volume unit penjualan.
2.
Customer Retention (retensi pelanggan);
Mengukur tingkat di mana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan
konsumen.
3.
Customer Acquisition (akuisisi pelanggan);
mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan baru atau
memenangkan bisnis baru.
4.
Customer Satisfaction (kepuasan pelanggan);
Menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria kinerja spesifik
dalam value proposition.
5.
Customer Profitability (profitabilitas
pelanggan); mengukur keuntungan yang diperoleh perusahaan dari penjualan
produk/jasa kepada konsumen.
6.
Sedangkan Customer Value Proposition
merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang
didasarkan pada atribut sebagai berikut:
a. Product/service
attribute.
Meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga,
dan kualitas. Pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas produk yang
ditawarkan. Ada yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas, atau harga yang
murah. Perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang diinginkan pelanggan atas
produk yang ditawarkan. Selanjutnya pengukuran kinerja ditetapkan berdasarkan
hal tersebut.
b. Konsumen
relationship
Menyangkut perasaan pelanggan terhadap
proses pembelian produk yang ditawarkan perusahaan. Perasaan konsumen ini
sangat dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap
pelanggan berkaitan dengan masalah waktu penyampaian. Waktu merupakan komponen
yang penting dalam persaingan perusahaan. Konsumen biasanya menganggap
penyelesaian order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi
kepuasan mereka.
c. Image
and reputasi
Menggambarkan faktor-faktor intangible yang
menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan perusahaan. Membangun image
dan reputasi dapat dilakukan melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang
dijanjikan.
3.
Perspektif
Proses Bisnis Internal
Analisis proses bisnis internal perusahaan
dilakukan dengan menggunakan analisis value-chain. Disini manajemen
mengidentifikasi proses internal bisnis yang kritis yang harus diunggulkan
perusahaan. Scorecard dalam perspektif ini memungkinkan manajer untuk
mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan dan apakah produk dan atau jasa
mereka sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Perspektif ini harus didesain
dengan hati-hati oleh mereka yang paling mengetahui misi perusahaan yang
mungkin tidak dapat dilakukan oleh konsultan luar.
Kaplan dan Norton (1996) membagi proses
bisnis internal ke dalam tiga tahapan, yaitu:
1. Proses
inovasi
Dalam proses penciptaan nilai tambah bagi
pelanggan, proses inovasi merupakan salah satu kritikal proses, dimana
efisiensi dan efektifitas serta ketepatan waktu dari proses inovasi ini akan
mendorong terjadinya efisiensi biaya pada proses penciptaan nilat tambah bagi
pelanggan.
Dalam proses ini, unit bisnis menggali
pemahaman tentang kebutuhan dari pelanggan dan menciptakan produk dan jasa yang
mereka butuhkan. Proses inovasi dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian
marketing sehingga setiap keputusan pengeluaran suatu produk ke pasar telah
memenuhi syarat-syarat pemasaran dan dapat dikomersialkan (didasarkan pada
kebutuhan pasar).
2. Proses
Operasi
Proses operasi adalah proses untuk membuat
dan menyampaikan produk/jasa. Aktivitas di dalam proses operasi terbagi ke
dalam dua bagian: 1) proses pembuatan produk, dan 2) proses penyampaian produk
kepada pelanggan. Pengukuran kinerja yang terkait dalam proses operasi
dikelompokkan pada waktu, kualitas, dan biaya.
3. Proses
Pelayanan Purna Jual
Proses ini merupakan jasa pelayanan pada
pelanggan setelah penjualan produk/jasa tersebut dilakukan. Aktivitas yang
terjadi dalam tahapan ini, misalnya penanganan garansi dan perbaikan penanganan
atas barang rusak dan yang dikembalikan serta pemrosesan pembayaran pelanggan.
Perusahaan dapat mengukur apakah upayanya dalam pelayanan purna jual ini telah
memenuhi harapan pelanggan, dengan menggunakan tolak ukur yang bersifat
kualitas, biaya, dan waktu seperti yang dilakukan dalam proses operasi. Untuk
siklus waktu, perusahaan dapat menggunakan pengukuran waktu dari saat keluhan
pelanggan diterima hingga keluhan tersebut diselesaikan.
4. Perspektif
Pembelajaran dan Pertumbuhan
Proses ini mengidentifikasi infrastruktur
yang harus dibangun perusahaan untuk meningkatkan pertumbuhan dan kinerja
jangka panjang. Proses pembelajaran dan pertumbuhan ini bersumber dari faktor
sumber daya manusia, sistem, dan prosedur organisasi. Yang termasuk dalam
perspektif ini adalah pelatihan pegawai dan budaya perusahaan yang berhubungan
dengan perbaikan individu dan organisasi.
Hasil dari pengukuran ketiga perspektif
sebelumnya biasanya akan menunjukkan kesenjangan yang besar antara kemampuan
orang, system, dan prosedur yang ada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk
mencapai kinerja yang diinginkan. Inilah alasan mengapa perusahaan harus
melakukan investasi di ketiga faktor tersebut untuk mendorong perusahaan
menjadi sebuah organisasi pembelajar (learning organization). Dalam perspektif
ini, ada factor-faktor penting yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Kapabilitas
pekerja
Dalam hal ini manajemen dituntut untuk
memperbaiki pemikiran pegawai terhadap organisasi, yaitu bagaimana para pegawai
menyumbangkan segenap kemampuannya untuk organisasi. Untuk itu perencanaan dan
upaya implementasi reskilling pegawai yang menjamin kecerdasan dan
kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Kapabilitas
system informasi
Bagaimanapun juga, meski motivasi dan
keahlian pegawai telah mendukung pencapaian tujuan-tujuan perusahaan, masih
diperlukan informasi-informasi yang terbaik. Dengan kemampuan sistem informasi
yang memadai, kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan pegawai atas informasi
yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
3. Motivasi,
kekuasaan dan keselarasan
Perspektif ini penting untuk menjamin
adanya proses yang berkesinambungan terhadap upaya pemberian motivasi dan
inisiatif yang sebesar-besarnya bagi pegawai. Paradigma manajemen terbaru
menjelaskan bahwa proses pembelajaran sangat penting bagi pegawai untuk
melakukan trial and error sehingga turbulensi lingkungan sama-sama
dicoba-kenali tidak saja oleh jenjang manajemen strategis tetapi juga oleh
segenap pegawai di dalam organisasi sesuai kompetensinya masing-masing. Upaya
tersebut perlu didukung dengan motivasi yang besar dan pemberdayaan pegawai
berupa delegasi wewenang yang memadai untuk mengambil keputusan. Selain itu,
upaya tersebut juga harus dibarengi dengan upaya penyesuaian yang terus menerus
yang sejalan dengan tujuan organisasi.
Dari keempat perspektif tersebut terdapat
hubungan sebab akibat yang merupakan penjabaran tujuan dan pengukuran dari masing-masing
perspektif. Hubungan berbagai sasaran strategic yang dihasilkan dalam
perencanaan strategic dengan kerangka Balanced Scorecard menjanjikan
peningkatan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kinerja keuangan. Kemampuan
ini sangat diperlukan oleh perusahaan yang memasuki lingkungan bisnis yang
kompetitif.
INDIKATOR KINERJA ISLAMI BERDASARKAN AL-QUR’AN DAN HADITS
Pendapatan Yang Halal.
Pendapatan dipandang sebagai indikator dalam kinerja seorang
muslim karena besaran pendapatan dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai
kinerja individu. Islam memberikan kepada setiap orang hak kebebasan dalam
menetukan corak kehidupannya dan memilih kerja-kerja yang diminatinya asalkan
tidak bertentangan dengan syariat Islam. Hak dan kebebasan dalam memilih
pekerjaan dan sumber pendapatan masing-masing akan mewujudkan berbagai hasil
dan pendapatan guna pemenuhan kebutuhan. Kebebasan mencari sumber
pendapatan dalam Islam adalah berdasarkan kepada firman Allah.
Di dalam kehidupan Rasulullah Saw sendiri pun tidak terlepas
dari dunia bisnis yang merupakan salah satu proses kematangan beliau yang
dikenal sebagai al-Amin. Sejarah telah mencatat bahwa ketika beliau
berusia 12 tahun belaiu telah mengikuti ekspedisi dagang luar negeri. Begitu
juga ketika berusia 20an dan 40an di padati dengan pengalaman bisnis
internasional.
Bahkan Rasulullah Saw menyatakan, bahwasanya orang yang
mencari nafkah hidup untuk dirinya sendiri dan untuk saudaranya yang beribadah
sepanjang waktu adalah lebih baik dari saudaranya yang tidak bekerja tersebut.
Demikian pentingnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan terdapat
ayat al-Qur’an yang menegaskan agar umat Islam bersegera bertebaran di muka
bumi guna mencari nafkah setelah memenuhi kewajiban shalat. Allah Swt berfirman
dalam surat al-Jumu’ah ayat 10 :
“Apabila telah ditunaikan
shalat. Maka bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah sebanyak-banyaklah supaya kamu beruntung”.
Pekerjaan manusia adalah pekerjaan rasio (akal) dan fisik.
Jika manusia tidak bekerja maka ia tidak bisa memenuhi tugas hidupnya. Manusia
harus menggunakan akalnya untuk berpikir dan menjadikan pemikirannya sebagai
pedoman dalam kehidupan, sehingga tidak dikalahkan oleh hawa nafsu. Pemikiran
yang negatif akan merugikan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pekerjaan
merupakan sarana untuk memperoleh rezeki dan sumber penghidupan yang layak jika
niatnya benar, dan selalu mengindahkan hukum-hukum Allah Swt, maka kerja yang
dilakukannya itu di hitung sebagai ibadah. Manusia hidup mempunyai tiujuan,
Islam menjadikan bekerja sebagai hak dan kewajiban individu. Rasulullah
menganjurkan bekerja dan berpesan agar melakukannya sebaik mungkin Dan ia juga
berpesan untuk selalu berlaku adil dalam menentukan upah kerja dan menepati
pembayarannya.
Umat Islam yang diberi gelar oleh Allah sebagai Khairu
Ummah (the best society) diharapkan menjadi dorongan bagi kita (umat
Islam) untuk lebih semangat lagi dalam bekerja sertaberusaha untuk menanamkan
suatu ideologi bahwa bekerja, berkreasi, dan berinovasi adalah suatu yang
indah.
Tabungan/investasi dunia dan akhirat.
Menabung adalah tindakan yang dianjurkan oleh Islam, karena
dengan menabung berarti seorang muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan
perencanaan masa yang akan datang sekaligus untuk menghadapi hal – hal yang
tidak diinginkan. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara tidak langsung
telah memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan hari esok secara lebih
baik, seperti dalam Q.S. An-Nisa ayat 9:
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang
benar.”
Demikian
pula firman Allah dalam Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 266 sebagai berikut “
“Apakah ada salah seorang di antaramu yang
ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa
tua pada orang itu sedang Dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka
kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.”
Mempersiapkan masa depan untuk keturunan baik secara
rohani/iman maupun secara ekonomi”. Menabung adalah salah satu langkah dari
persiapan tersebut (Antonio, 2000; 205-206). Alokasi anggaran konsumsi seorang
muslim akan mempengaruhi keputusannya dalam menabung dan investasi. Seseorang
biasanya akan menabung sebagian dari pendapatnya dengan beagam motif, antara
lain :
- untuk
berjaga-jaga terhadap ketidakpastian masa depan,
- untuk
persiapan pembelian suatu barang konsumsi dimasa depan, serta
- untuk
mengakumulasikan kekayaannya.
Demikian pula, seseorang akan mengalokasikan sebagian dari
anggarannya untuk investasi, yaitu menanamkannya pada sektor produktif. Dengan
investasi maka seseorang rela mengorbankan konsumsinya sekarang dengan harapan
akan mendapat hasil (return) dimasa datang. Dengan adanya return dimasa
datang berarti akan terjadi akumulasi kekayaan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup.
Bukti lain bahwa Islam sangat mendorong kegiatan menabung
dan investasi adalah bahwa dalam berbagai aturan Islam dalam mengelola harta
membawa implikasi positif pada tabungan dan investasi ini, misalnya larangan
terhadap penumpukan harta, pengenaan zakat pada harta yang menganggur melebihi
batas waktu tertentu dan penghapusan bunga.
Islam yang memiliki al-Qur’an dan sunnah sebagai
undang-undangnya, dengan menjadikannya sebagai way of life dan juga way
of save bagi umatnya yang tidak hilang oleh zaman, karena petunjuknya yang
mulia yang memang diperuntukkan bagi kita semua sampai kapan pun. Al-Qur’an
juga tidak membantah akan kecintaan kepada kehidupan manusiawi, karena hal itu
merupakan suatu proses yang alami. Dalam hal ini Allah Swt telah berfirman
dalam surat al-Imran ayat 14 :
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu
wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia dan disisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)”.
Tetapi di balik itu al-Qur’an mengungkapkan, bahwa selain
kehidupan didunia ini masih ada kelanjutan yaitu kehidupan akhirat. Pandangan
hidup Islam itu tidak terbatas hanya pada kehidupan materialistis yang berakhir
pada kematian seseorang didunia. Sehingga dalam bekerja para pelakunya haruslah
memiliki orientasi, terlebih yang berorientasi kepada syari’ah.
Nilai asset (kekayaan) keluarga
Islam sebagai sebuah agama memiliki sistem nilai dan
kepercayaan yang menempatkan urusah kehidupan menyatu dalam setiap aspek
kehidupan. Bukan hanya sebagai agama personal semata, juga sebagai sebuah
sistem bersama membentuk kebaikan dan kemaslaha bersama. Bagian tidak
terpisahkan dalam hal muamalat. Memberikan pedoman dan rambu-rambu bagaimana
memandang dan mengatur tentang persoalan finansial, aset dan kekayaan.
Perpindahan siklus finansial, asset dan kekayaan adalah
sebuah sunnatullah yang berlaku bagi interaksi manusia dalam berbagai bentuk
dan pola. Perpindahan ini berkembang sesuai dengan perkembangan kecerdasan
manusia untuk mengolah ekonomi/muamalah untuk memenuhi kebutuhan, keinginan dan
kesenangan. Menjadi landasan utama adalah bahwa kepemilikan absolut adalah
Allah Swt. Semua yang ada di langit dan dibumi adalah milik Allah
sebagaimana dalam Q.S Albaqarah 284:
“kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam
hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan
kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya
dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
Dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia
ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya
yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah
milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan" atau
"dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT.
Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap
Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang
terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan,
kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan
kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang
ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam
kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak,
sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua
yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis
kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya
sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya
saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah
kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan
kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya
saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang
berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa,
pinjam-meminjam dan lain-lain. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi
praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar
kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu:
- Belum
ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk
memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
" Siapa yang lebih dahulu
mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang
itu miliknya."
- Orang
yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk
memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini
mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung
pada niat yang dikandungnya.
Mengeluarkan Zakat, infaq dan shadaqah
Perintah (kewajiban) membayar zakat disebutkan secara jelas
di dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah. Perintah zakat dalam Alquran, yang
disebutkan beriringan dengan kewajiban mendirikan shalat ditemukan sebanyak 33
kali. Sedang perintah membayar zakat yang tidak diiringkan dengan shalat, atau
disampaikan dengan kata yang lain, seperti perintah untuk membayar infaq atau
shadaqah, ditemukan lebih dari 40 kali.
Begitu juga perintah mendirikan shalat yang tidak beriringan
dengan zakat ditemukan lebih dari 40 kali. Dengan demikian tidaklah
berlebih-lebihan sekiranya dikatakan bahwa di dalam Alquran, perintah membayar
zakat disebutkan sama banyak dengan perintah mendirikan shalat (sekitar 70
kali). Ayat-ayat tentang kewajiban zakat seperti disebutkan di atas, boleh
dikatakan semuanya bersifat umum, mencakup semua jenis harta (simpanan,
tabungan) dan semua jenis penghasilan (pertanian, peternakan, perdagangan,
jasa, industri, kontraktor, dsb). Misalnya surat At Taubah 103 :
“ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”
Perintah
berinfak, yang sebagiannya dipahami mencakup pembayaran zakat, diperintahkan
terhadap semua jenis penghasilan, misalnya surat Al-Baqarah 254,
“Hai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki
yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak
ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada
lagi syafa`at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang lalim”.
Ayat
lain yang menjelaskan zakat adalah mengenai orang yang berhak menerimanya,
yaitu surat At Taubah 60:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
Adapun penjelasan dan pembatasan tentang jenis harta dan
penghasilan yang terkena zakat, begitu juga nisab (batas minimal harta kena
zakat) dan kadar (jumlah harta yang wajib dibayarkan sebagai zakat) berasal
dari sabda Rasulullah dan praktek yang terjadi pada masa Rasulullah (Sunnah
Rasulullah) dan Sahabatnya. Tetapi penjelasan dan rincian ini tidaklah dalam
bentuk yang jelas dan lengkap, sehingga harus ditafsirkan, disusun dan ditata
terlebih dahulu.
Dengan demikian peluang dan bahkan keharusan untuk ijtihad
menjadi relatif besar dan luas. Lebih dari itu hadis-hadis ini juga memuat
keterangan tentang hikmah dan pahala dari penunaian zakat dan berbagai hal lain
di seputar zakat, yang sekiranya dikelompokkan dapat dipilah menjadi tujuh hal
utama sebagai berikut.
Kelompok pertama hadis-hadis yang menjelaskan kewajiban
zakat, pahala yang akan diperoleh serta hikmah dan manfaat dari pembayaran
zakat. Kelompok kedua hadis yang menjelaskan jenis harta kena zakat, kelompok
ketiga menjelaskan nisab (batas minimal harta kena zakat), kelompok keempat
menjelaskan kadar zakat (jumlah harta yang dibayarkan sebagai zakat). Kelima
menjelaskan kelompok masyarakat (orang) yang berhak menerima zakat, kelompok
keenam tentang tata cara pembayaran dan pembagian (pengelolaan) zakat dan
kelompok ketujuh tentang zakat fitrah.
Dalam kitab Fath-ul Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari,
ditemukan 118 hadis di bawah judul Kitab-uz Zakat, (Jilid IV, hlm 3 s/d 151,
nomor 1395 s/d 1512). Walaupun jdulnya adalah ”Kitab tentang Zakat”, tidaklah
seluruh hadis disini menjelaskan zakat. Sebagian daripadanya menjelaskan
sede-kah dalam arti umum. Lebih setengah dari hadis-hadis ini menjelaskan
anjuran untuk berzakat dan bersedekah, serta pahala dan manfaatnya, begitu juga
celaan untuk orang yang enggan melakukannya.
Mengenai jenis harta serta nisab dan kadar zakat misalnya,
Imam al-Bukhari hanya memasukkan (mengakui) beberapa hadis tentang zakat
petanian, zakat ternak dan zakat perak (simpanan). Hadis tentang zakat
perdagangan dan rikaz tidak ditemukan di dalam himpunan hadis Imam Al-Bukhari
ini.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa pembatasan tentang jenis
dan persyaratan harta dan penghasilan zakat yang ditemukan di dalam hadis-hadis
Rasulullah itu tidaklah bersifat mutlak, sehingga cenderung diperluas mengikuti
perbedaan tempat, waktu dan keadaan (mata pencaharian penduduk), sesuai dengan
kaidah-kaidah ushul fiqih dan pertimbangan kemaslahatan yang dirasakan oleh
para imam mujtahid tersebut. Sebagai contoh, sekiranya kita membuka buku
Fiqh-us Sunnah karangan Sayyid Sabiq (Bab/Kitab Zakat), akan terlihat tidak
semua bidang atau masalah zakat ada dalilnya yang langsung dari hadis-hadis
Rasulullah.
Tentang zakat pertanian misalnya, Said Sabiq secara jelas
menyatakan bahwa pada masa Rasululah hasil pertanian yang dizakati hanyalah
gandum, jelai, kurma dan anggur. Adapun hasil pertanian lainnya, seperti
sayur-sayuran dan buah-buahan tidak dizakati pada masa Rasulullah (Sayyid
Sabiq, jilid 1, hlm 407 dst.). Imam Syafi`i dalam Kitab al-Um tentang zakat
perdagangan mencantumkan sebuah riwayat bahwa Khalifah Umar mengambil zakat
atas barang yang akan diperdagangkan. Setelah itu beliau juga mengutip riwayat
bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan petugasnya untuk memungut
zakat atas barang yang akan diperdagangkan apabila telah mencapai nisab (Al-Um,
jilid dua, hlm. 63).
Yang menarik dari riwayat ini, beliau tidak mencatumkan
hadis bahwa pada masa Rasulullah barang perdagangan sudah dikenakan zakat.
Begitu juga di tempat yang lain beliau mencantumkan riwayat bahwa Khalifah
Usman bin `Affan ketika membayarkan ”tunjangan” (al-`atha’,al- a`thiyah) yang
beliau ambil dari Baitul Mal dan diserahkan kepada orang yang berhak, bertanya
apakah dia mempunyai harta yang wajib zakat. Kalau dijawab ada maka Usman
memotong kewajiban tersebut dari ”tunjangan” yang dia bayarkan tersebut. Tetapi
kalau dijawab tidak ada maka Usman akan memberikan ”tunjangan” tersebut secara
penuh.
Lebih dari itu Imam Syafi`i menyatakan bahwa orang pertama
yang mengambil zakat atas ”tunjangan” adalah Mu`awiyah bin Abu Sufyan, Khalifah
pertama Daulah Bani Umayyah. Yang menarik dalam riwayat dari Umar bin Khatthab,
Mu`awiyah dan Umar bin abdul Aziz ini tidak ada ketentuan bahwa zakat tersebut
baru diambil setelah sampai haul. Tetapi Imam Syafi`i menyatakan karena
”tunjangan” tersebut merupakan ”fa’idah” maka baru wajib dizakati kalau sudah
dimiliki selama satu tahun (sampai haul). Lebih tegas lagi Imam Syafi`i
menyatakan bahwa semua harta yang mencapai nisab baru wajib dizakati apabila
telah sampai haul kecuali hasil pertanian, harta rikaz dan ma`adin (Al-Um,
jilid dua, hlm. 24).
Di atas sudah disinggung bahwa perintah membayar zakat di
dalam Alquran bersifat sangat umum, namun di dalam hadis dibatasi, sehingga
menjadi relatif sangat sempit. Untuk pertanian misalnya ada hadis yang
menyatakan bahwa zakat hanya wajib atas hasil pertanian kurma, anggur, gandum
dan jelai. Mungkin karena isinya yang sangat sempit, para ulama memahami hadis
ini tidak secara harfiah, tetapi berusaha mencari `illat yang terkandung
didalamnya. Sebagian mereka menyatakan `illat tersebut adalah makanan pokok,
sebagian yang lain menyatakan tahan disimpan, ada yang menyatakan karena
merupakan biji-bijian, ada yang mernyatakan karena ditanam dan ada juga yang
menyatakan karena menjadi penghasilan (bernilai ekonomis).
Dengan demikian berdasarkan `illat yang dibangun dengan
logika dan pertimbangan masing-masing, semua ulama dan mazhab (mungkin
pengecualiannya hanyalah sebagian pengikut mazhab zhahiri) memperluas makna
hadis di atas. Ada yang memperluasnya secara relatif terbatas, (misalnya ulama
Syafi`iyah) hanya pada biji-bijian yang dijadikan makanan pokok, yang tahan
disimpan dan ditanam oleh si petani (jadi hasil pohon sagu yang juga dijadikan
makanan pokok tidak wajib dizakati karena pohon sagu di Aceh tidak ditanam oleh
petani). Tetapi sebagian ulama yang lain (misalnya ulama Hanafiah)
memperluasnya menjadi semua jenis pertanian yang memberikan hasil atau
dijadikan mata pencaharian, seperti kelapa, sawit, kopi, pisang dan sebagainya.
Dari jalan pikiran para ulama ini penulis cenderung mengikuti para ulama yang
menyatakan semua penghasilan (pertanian atau bukan pertanian termasuk sektor
jasa di alamnya) sekiranya telah mencapai nisab wajib dizakati.
Dalam kaitan dengan jenis harta kena zakat, hadis-hadis
menentukan kadar zakat secara berbeda untuk jenis harta yang berbeda-beda.
Terhadap hasil pertanian ada dua kadar zakat. Kalau tanaman tersebut diairi
dengan air hujan atau air sungai maka zakatnya 10 % dari hasil panen. Tetapi
kalau tanaman tersebut diairi dengan disiram maka zakatnya turun menjadi 5 %
saja. Untuk hewan ternak, setiap 40 ekor kambing zakatnya satu ekor kambing
setahun; setiap 30 ekor sapi (kerbau) zakatnya satu ekor anak sapi berumur dua
tahun, sedang untuk sapi (kerbau) yang berjumah 40 ekor zakatnya tetap satu
ekor tetapi yang berumur 3 tahun lebih. Untuk emas zakatnya adalah 2,5 %.
Begitu juga hasil perdagangan zakatnya sama dengan emas
yaitu 2,5 %. Zakat yang paling besar adalah zakat harta rikaz, yaitu 20 %. Dari
berbagai ketentuan tentang kadar zakat ini, para ulama berusaha mencari `illat
yang terkandung di dalamnya, yang kesimpulannya lebih kurang sebagai berikut.
Pekerjaan yang tidak memerlukan modal, tidak memerlukan keahlian untuk
mengerjakannya atau resiko ruginya relatif kecil maka zakatnya relatif besar.
Sebaliknya pekerjaan yang memerlukan modal besar atau memerlukan keahlian yang
relatif tinggi, atau resiko gagal atau ruginya relatif besar, maka zakatnya
menjadi relatif kecil. Ke dalam kelompok pertama masuk hasil pertanian tadah
hujan, dan harta rikaz. Ke dalam yang kedua masuk zakat hewan ternak, zakat
perdagangan dan uang simpanan, serta zakat pertanian yang disiram atau
dikerjakan secara intensif.
Berdasarkan jalan pikiran di atas maka kadar zakat untuk
penghasilan dari sektor jasa ditetapkan 2,5 % sama dengan zakat perdagangan
atau emas simpanan (uang atau barang tabungan). Penghasilan dari sektor jasa
dianggap termasuk kelompok pekerjaan yang memerlukan keahlian bahkan
sebagiannya memerlukan keahlian yang relatif sangat khusus. Dengan jalan
pikiran ini juga dapat dinyatakan bahwa zakat untuk usaha pertanian yang
memerlukan modal besar dan perawatan sangat intensif, seperti perkebunan besar
(industri pertanian) maka zakatnya akan turun juga menjadi 2,5 %.
Hadis-hadis juga menyebutkan bahwa pada semua harta yang
wajib dizakati itu ada persyaratan nisab (sebagai pengecualian hanyalah harta
rikaz, karena menurut sebagian ulama, harta rikaz wajib dizakati betapapun
jumlahnya). Nisab adalah batas minimal jumlah harta (simpanan) atau jumlah
penghasilan sebagai ukuran adanya kewajiban zakat. Jadi kalau seseorang
memperoleh harta di bawah batas nisab maka dia tidak akan terkena zakat. Pada
pertanian nisab tersebut adalah lima wasaq, pada kambing dan domba 40 ekor,
pada unta lima ekor, pada lembu dan kerbau 30 ekor, sedang pada emas 20 dinar
dan pada perak 200 dirham.
Walaupun
jumlah nisab sudah ditentukan untuk berbagai jenis harta, masih ada persoalan
tentang cara menghitungnya. Pada pertanian hadis menyatakan agar zakat dihitung
pada waktu panen dan ini dipahami bahwa nisab dihitung untuk setiap panen,
seperti gandum, padi, jagung, kentang atau kacang-kacangan (tanaman semusim).
Tetapi untuk tanaman keras yang umurnya lebih panjang dari satu masa panen,
maka nisab dihitung untuk masa satu tahun. Jadi kurma, anggur, langsat atau
rambutan yang berbuah sekali setahun maka nisab dihitung sekali setahun pada
setiap musim panen. Sedang tanaman yang masa panennya lebih dari sekali dalam
setahun seperti kopi dan kemiri, atau berbuah secara relatif terus menerus
seperti kelapa atau sawit, maka nisabnya dihitung dari hasil panen selama satu
tahun.
Untuk hewan ternak, Hadis Rasulullah menyatakan bahwa nisab
dihitung untuk setahun, artinya dalam satu tahun hanya kena zakat satu kali
saja. Kalau pada tahun berikutnya jumlah ternak masih berada di atas jumlah
nisab maka zakatnya kembali dibayarkan. Begitu juga emas atau perak, wajib
dizakati kalau jumlahnya berada di atas nisab dan sudah disimpan selama
setahun. Berdasar ketentuan tentang nisab dalam berbagai jenis harta ini, maka
jumhur ulama menetapkan bahwa nisab penghasilan sektor jasa adalah jumlah
penghasilan selama satu tahun. Artinya kalau penghasilan seseorang selama
setahun telah mencapai jumlah nisab (20 dinar emas) barulah zakatnya wajib
dikeluarkan.
Dari ketentuan tentang kadar dan nisab zakat yang ada di
dalam hadis, dapat ditarik kesimpulan berikutnya, bahwa harta yang dikenai
zakat adalah seluruh hasil yang diperoleh dari usaha tersebut. Biaya yang
diperlukan untuk memperoleh hasil itu, begitu juga biaya hidup selama melakukan
pekerjaan tersebut, tidak akan dijadikan sebagai pengurang atas harta yang akan
dikenai zakat. Menggunakan aturan tentang zakat pertanian tadi sebagai contoh,
dapat disebutkan, ketika usaha pertanian menjadi intensif dan bahkan padat
modal maka penentuan zakat tidak dilakukan dengan cara hasil panen dikurangi
biaya produksi.
Tetapi menurut hadis, kadar zakatnya yang diturunkan dari 10
% menjadi 5 % sedangkan harta (penghasilan) kena zakatnya tetap seluruh hasil
panen. Tidak ada hadis sahih yang menyebutkan bahwa biaya operasional atau
biaya hidup petani sejak dari saat menanam sampai panen dikurangi dari hasil
panen dan baru setelah itu dihitung nisabnya. Berdasarkan `illat dan jalan
pikiran ini, dapat dinyatakan bahwa zakat harus dibayarkan atas seluruh
penghasilan (hasil bersih) dari sektor jasa, tidak dikurangi dengan kebutuhan
hidup terlebih dahulu.
Perlu disebutkan, sebagian ulama di Indonesia menya-takan
bahwa biaya hidup dan biaya kerja harus dikeluarkan sebelum nisab dihitung.
Dengan kata lain sesudah biaya hidup secara wajar (dalam batas minimal) dan
biaya kerja dikeluarkan, hasil atau panen atau gaji tersebut tetap mencapai
nisab, barulah zakatnya dikeluarkan. Tetapi kalau sesudah dikeluarkan biaya
hidup minimal dan biaya kerja sisa penghasilan tidak lagi mencapai nisab maka
zakat tidak wajib dikeluarkan.
Kelihatannya pendapat ini diambil dari mazhab Hanafi dan
digabungkan dengan mazhab Syafi`i. Demikian penulis katakan, karena di dalam
mazhab Hanafi, tidak ada ketenuan nisab pada zakat pertanian. Dengan kata lain,
apabila hasil peranian suah lebih dari kebutuhan sehari-hari maka wajib
dikeluarkan zakatnya berapapun jumlahnya (walaupun berada di bawah nisab).
Karena dalam mazhab hanafi tidak ada ketentuan nisab maka wajar sekiranya
mereka menggunakan ukuan kebutuhan hidup dan biaya kerja sebagai pengganti
ukuran nisab tersebut.
Selanjutnya berdasarkan hadis tentang nisab dan kadar zakat,
serta harta yang dikecualikan dari kewajiban zakat (misalnya Nabi menyatakan
tidak dikenakan zakat atas hewan tunggangan, tidak dikenakan zakat atas harta
perhiasan), para ulama menyimpulkan bahwa harta kekayaan yang digunakan sebagai
peralatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti rumah untuk
tempat tinggal dan perabotannya tidak dikenai zakat. Begitu juga hewan
tunggangan, kenderaan atau peralatan lain sebagai alat dan perlengkapan kerja,
juga tiak dikenai zakat. Hadis juga secara jelas menyatakan bahwa emas dan
perak yang digunakan sebagai perhiasan oleh orang perempuan (dalam batas yang
wajar sebagai perhiasan) tidak dikenai zakat.
Begitu juga berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa orang
yang mempunyai (menyimpan, menabung) emas seba-nyak 20 dinar wajib mengeluarkan
zakatnya, maka para ulama menyimpulkan bahwa orang yang menyimpan uang pun
apabila nilainya sama (setara) dengan 20 dinar emas atau 200 dirham perak wajib
mengeluarkan zakatnya setiap tahun sebanyak 2,5 %. Meneruskan pemahaman ini,
uang kelebihan dari penghasilan sekiranya disimpan sampai setahun maka wajib
dizakati (kembali) karena telah berubah status dri uang penghasilan menjadi
uang simpanan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ghozali,
I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Kaplan,
R. S. dan David P. Norton. 2000. Balance Scorecard: Menerapkan Strategi
Menjadi Aksi, Terjemahan: Pasla Yosi Peter R. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Kumalasari,
Y. S. 2010. “Evaluasi Terhadap Kinerja Unit Usaha Syariah Pada Bank
Konvensional Dengan Perspektif Balance Scorecard”. Skripsi Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro.
Lubis,
Arfan I. dan Sutopo. 2003. “Implementasi Konsep Balance Scorecard bagi
Small and Medium Business di Indonesia: Suatu Tinjauan Teoritis”. Jurnal
EKOBIS, Vol. 4, No. 1, h. 15 – 28.
Mas’ud,
F. 2004. Survai Diagnosis Organisasional: Konsep dan Aplikasi. Badan Penerbit
Undip.
Mulyadi.
2001. Balanced Scorecard: Alat Manajemen Kontemporer untuk Pelipatganda
Kinerja Keuangan Perusahaan. (edisi ke-2). Jakarta: Salemba Empat.
Mulyadi.
2005. System Manajemen Strategic Berbasis Balance Scorecard. UPP AMP
YKPN.
Prakosa,
Yuniarsa A. 2006. “Pengukuran Kinerja Perusahaan Dengan Pendekatan Balance
Scorecard (Studi Kasus Pada PT Waskita Karya (Persero))”. Skripsi Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro.
Sudibyo,
B. 1997. “Pengukuran Kinerja Perusahaan Dengan Balance Scorecard:
Bentuk, Mekanisme, dan Prospek Aplikasinya pada BUMN”. JEBI, Vol. 12, No.2, h.
35 – 49.
Yuwono,
S. 2002. Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Scorecard :Menuju
Organisasi Yang Berfokus Pada Strategi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Zudia, M.
2010. “Analisis Penilaian Kinerja Organisasi Dengan Menggunakan Konsep Balance
Scorecard Pada PT Bank Jateng Semarang”. Skripsi Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro.